FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti memaparkan dua alasan. Mengapa Wakil Menteri (Wamen) tidak boleh rangkap jabatan.
Hal tersebut, diungkapkan Bivitri menanggapi pengangkatan Wamen menjadi komisaris. Rangkap jabatan itu, kata dia, bisa dilihat dari dua aspek.
“Sebenarnya boleh nggak? Ini bisa dijawab dari dua aspek. Yaitu hukum dan kepatutan,” kata Bivitri dikutip dari unggahannya di Threads, Selasa (29/7/2025).
Namun pada praktiknya, ia menjelaskan hukum malah dijadikan justifikasi untuk melakukan keculasan. Padahal, soal MK ada dua perkara. Ada yang nomor 80 tahun 2019 dan nomor 21 tahun 2025.
“Pada Juni 2025, pemohon perkara 2025 meninggal. Maka perkaranya gugur, tapi dua perkara ini berbeda. Bukan berarti Wamen jadi boleh rangkap jabatan,” jelasnya.
“Makanya di sidang hakim bilang, walaupun perkara 2025 ini gugur. Sudah ada loh putusan nomor 80/PUU-XVII/2019 yang mengatakan bahwa wakil menteri tidak boleh rangkap jabatan,” tambahnya.
Di sisi lain, pemerintah bilang putusan MK tidak perlu dituruti. Karena bukan di amar putusan.
“Perlu dipahami. Putusan pengadilan itu, tidak seperti putusan politik yang cuma instruksi. Putusan pengadilan itu pada dasarnya memuat amar putusan,” terang pengajar Jentera Law School itu.
Amar putusan, menurutnya langsung menjawab apa yang diminta oleh pemohon atau penggugat. Atau penuntut umum kalau pidana. Yaitu dikabulkan atau ditolak atau tidak bisa diterima. Misalnya pemohon tidak punya legal standing.
“Nah, hakim itu tidak boleh bawel di situ. Nah alasan kenapa hakim menolak atau menerima, hanya dapat diterima, wajib juga dimuat dalam putusan,” ujarnya.
“Namanya pertimbangan hukum. Pertimbangan hukum itu teman-teman, fungsinya bukan hanya tanggung jawab etik hakim untuk menjelaskan penalaran hukum atau rasio desidensi dari putusannya. Tapi juga memuat apa yang ada di dalam pikiran mereka dalam menyelesaikan masalah sosial secara lebih kompherensif,” sambungnya.
Selain itu, ia menjelaskan Hakim merupakan pembuat hukum melalui putusan. Kaidah hukum istilahnya.
Ia mencontohkan, yurisprudensi MA memuat kaedah hukum baru, yang ditemukan oleh hakim. Dalam ilmu hukum, itu dinamakan penemuan hukum. Itu, kata dia yang kurang dipahami.
“Kaidah hukum dari hakim justru bisa ditemukan dari ratio decidendi, bukan di amar putusan. Sebagai kaidah hukum, ia justru wajib diikuti sebagai perintah pengadilan atau judicial order. Nah, amar putusan 80/PUU-XVII/2019 ini memang bilang tidak dapat diterima. Karena pemohonnya tidak punya legal standing,” paparnya.
Di luar boleh atau tidaknya dari segi hukum. Bivitri mengatakan, pertanyaan tersebut bisa dijawab dari aspek kepatutan.
Ia pun memaparkan buruknya rangkap jabatan. Pertama, kompetensi.
“Ukurannya harus dari rekam jejak. Bukan jabatan lain. Dua, dan ini yang penting sekali, potensi benturan kepentingan. Tiga, gaji double, ini bukan kecemburuan sosial ya. Tapi penggunaan uang negara,” jelasnya.
Jika memang kasihan dengan menteri dan wamen karena gajinya kekecilan, menurutnya yang perlu diselesaikan adalah akar masalahnya. Soal sistem anggaran.
“Jangan kebanyakan di protokoler seperti mobil dan pengawalan tetot tetot. Dan, kalau mau bereskan ini, bereskan dilu dulu kompetensinya,” pungkasnya.
(Arya/Fajar)