FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Sosial Ekonomi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sebelas Maret (FEB UNS), Nurmadi Harsa Sumarta, memberikan pandangannya mengenai kebijakan efisiensi anggaran yang diusung pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Dikatakan Nurmadi, hingga saat ini, konsistensi kebijakan pemerintahan Prabowo masih menyisakan keraguan.
Ia menilai, sejak awal pemerintahan berjalan, tidak ada kesan serius dalam implementasi arah kebijakan nasional.
"Sejauh ini konsistensi kebijakan Prabowo, Mr. Omon-omon masih diragukan. Bahkan dari awal Prabowo dilantik, sudah terkesan tidak serius dan plin-plan,” ujar Nurmadi kepada fajar.co.id, Kamis (31/7/2025).
Salah satu kebijakan yang menjadi sorotan adalah program Makan Bergizi Gratis (MBG). Meski secara konsep dianggap menjanjikan, pelaksanaannya di lapangan justru memunculkan berbagai persoalan. Terutama dalam hal penyusunan menu dan teknis pembiayaan.
"Meskipun MBG terdengar baik di permukaan, realisasinya di lapangan menghadapi banyak kendala, baik dari segi implementasi menu maupun mekanisme pembayaran,” imbuhnya.
Ia menilai program tersebut seharusnya dilakukan secara bertahap dengan menyesuaikan kemampuan fiskal negara. Namun, justru dipaksakan sejak awal pemerintahan berjalan.
“Mestinya program MBG dilakukan setelah setahun atau saat kondisi keuangan negara bagus. Banyak kritik menyebut MBG sebagai program yang tidak produktif,” terang Nurmadi.
Ia bahkan menyebut program MBG bersifat general dan kurang memperhatikan kebutuhan lokal.
"MBG ini lebih bersifat ‘gebyah uyah’, asal jalan, diterapkan secara nasional tanpa mempertimbangkan kebutuhan spesifik setiap daerah,” jelasnya.
Nurmadi juga menyinggung soal prioritas yang lebih mendesak di berbagai wilayah terpencil.
Ia menilai, banyak keluarga yang lebih mencemaskan biaya pendidikan anak-anak dibanding sekadar makanan gratis.
“Banyak PHK dan orang tua di daerah terpencil lebih mengkhawatirkan bagaimana mereka bisa membiayai pendidikan anaknya, bukan sekadar memastikan anak-anak mendapatkan makanan bergizi yang asal-asalan,” sesalnya.
Ironisnya, di tengah jargon efisiensi, struktur pemerintahan justru semakin melebar.
Kabinet Prabowo disebutnya kian gemuk, dengan tambahan menteri koordinator, kementerian baru, wakil menteri, hingga utusan khusus.
“Para pejabat dengan fasilitas gaji, tunjangan dan mobil mewah yang mahal, tidak empaty terhadap kesulitan hidup rakyat,” tegas Nurmadi.
Menurut dia, kondisi ekonomi rakyat makin tertekan. Daya beli menurun, biaya hidup naik, sementara lapangan kerja semakin sempit.
"Bahkan yang baru lulus semakin sulit mendapatkan lapangan kerja,” ucapnya.
Ia pun menyindir soal rusaknya banyak fasilitas pendidikan di berbagai wilayah Indonesia, yang justru luput dari perhatian negara.
"Seharusnya ini yang lebih diprioritaskan dibandingkan pemberian makanan gratis yang tidak merata efektivitasnya,” tandasnya.
Alih-alih menghemat, kata Nurmadi, kebijakan efisiensi anggaran yang digaungkan Presiden Prabowo justru menjadi ajang pergeseran belanja, bukan pengurangan total anggaran.
“Refocusing bukan berarti pengurangan pengeluaran APBN secara keseluruhan, melainkan hanya sekadar realokasi,” katanya.
Ia juga mengkritisi proyek Ibu Kota Negara (IKN) yang masih terus digelontor dana dari APBN, sementara pembiayaannya bersumber dari utang luar negeri.
"Kita sudah dalam perangkap hutang (Debt Trap), banyak korupsi akibat salah kelola negara. Hutang semakin besar, akibat angsuran pokok dan bunga juga dibayar dari tambahan hutang,” bebernya.
Jika ingin benar-benar efisien, menurut dia, langkah paling logis adalah merampingkan kabinet.
“Jika efisiensi benar-benar menjadi fokus, seharusnya Prabowo merampingkan kabinetnya, bukan justru memperbanyak jumlah kementerian dan menambah posisi utusan khusus,” tegasnya.
Bahkan, lanjut Nurmadi, beberapa pengangkatan menteri dinilai lebih karena faktor titipan politik ketimbang kompetensi.
"Selain itu, pengangkatan menteri dan pejabat lebih didasarkan pada titipan rezim dan patron politik ketimbang kompetensi,” jelasnya.
Ia juga mempertanyakan efektivitas Wakil Presiden yang dinilainya tak membawa kontribusi signifikan.
"Kapasitas Wapres pun sangat diragukan bahkan jadi cibiran, yang pada akhirnya hanya membebani APBN tanpa hasil nyata,” cetusnya.
Nurmadi pun menegaskan, efisiensi tidak akan pernah terjadi jika pola rekrutmen kabinet tidak berubah.
“Kabinet perlu dirampingkan dan diisi oleh teknokrat yang memahami bidangnya serta memiliki etika bernegara,” pesannya.
Nurmadi bilang, tanpa pembenahan kabinet secara serius, wacana efisiensi anggaran hanya akan menjadi slogan kosong yang tidak menyentuh realita rakyat.
"Prabowo harus serius menata ulang dan menyederhanakan kabinetnya. Tanpa langkah ini, efisiensi anggaran hanya menjadi slogan kosong,” kuncinya. (Muhsin/fajar)