Denny Siregar: Bendera One Piece Itu Tamparan, Bukan Alasan untuk Menangkap

  • Bagikan
Denny Siregar

FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Pengibaran bendera bajak laut One Piece yang dianggap makar mendapatkan respons menohok. Salah satunya datang dari sutradara sekaligus pegiat media sosial, Denny Siregar.

Dikatakan Denny, pemerintah seharusnya tak alergi terhadap simbol-simbol yang muncul dari masyarakat, apalagi jika itu bentuk kritik damai.

"Seharusnya pemerintah berani bilang, berkembangnya tren mengibarkan bendera hitam One Piece, itu sebagai kritikan pada kita, sebagai tamparan," ujar Denny di X @Dennysiregar7 (3/8/2025).

Denny menilai, reaksi berlebihan seperti ancaman penangkapan justru memperlihatkan ketidakdewasaan dalam menyikapi ekspresi publik.

"Ayo kita berbenah, rakyat melihat kerja kita! Gitu. Bukannya mau ditangkep-tangkepin," tegasnya.

Fenomena bendera One Piece, yang banyak dikibarkan dalam aksi protes belakangan ini, dinilai sebagian pihak sebagai simbol perlawanan dan harapan akan keadilan.

Namun, di sisi lain, aparat keamanan mulai mengaitkan simbol itu dengan ancaman terhadap negara.

Denny menegaskan, justru dari simbol-simbol itulah pemerintah bisa membaca suasana batin masyarakat secara lebih jujur.

Sebelumnya, Anas Urbaningrum, turut angkat bicara soal polemik bendera One Piece yang belakangan ramai diperbincangkan menjelang peringatan HUT ke-80 Kemerdekaan RI.

Bahkan, pengibaran bendera yang massif dilakukan dan viral di Medsos itu dianggap makar oleh anggota DPR RI dari fraksi Golkar, Firman Soebagyo.

Dikatakan Anas, polemik tersebut hanyalah reaksi berlebihan dan tak perlu dibesar-besarkan.

"One Piece diributkan? Kurang kerjaan," kata Anas di X @anasurbaninggrum (2/8/2025).

Ia menyebut bahwa pengibaran bendera One Piece di samping bendera merah putih merupakan hal yang biasa dalam demokrasi.

"Itu bagian dari ekspresi sosial yang biasa saja dalam demokrasi," ucapnya.

Anas menilai bahwa sekalipun aksi pengibaran bendera tersebut mengandung pesan protes atau kritik, hal itu tetap merupakan bentuk aspirasi damai yang patut dihormati dalam negara demokratis.

"Jika pun bermakna protes dan kritik, itu juga saluran yang damai. Bahkan kritik yang bersifat simbolik, halus dan cenderung tinggi," tukasnya.

Lebih jauh, Anas menuturkan bahwa ekspresi semacam itu mencerminkan kemajuan budaya masyarakat yang kini kian terhubung dengan arus global dan teknologi, bukan bentuk pembangkangan.

"Hal demikian justru bentuk dari kemajuan budaya ekspresi sosial, karena teknologi dan terpaan kemajuan budaya global. Bukan budaya kekerasan dan pembangkangan yang katrok," tegasnya.

(Muhsin/fajar)

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan