Jangan Ajari Kami Patriotisme, Kaulah yang Berbuat Makar Terhadap Rakyat dan Konstitusi

  • Bagikan

Oleh: Heru Subagia
(Pengamat Politik, Alumni UGM).

Pernyataan Firman Soebagyo, anggota DPR RI dari Fraksi Golkar yang menyebut tindakan masyarakat menyebarkan simbol bendera One Piece sebagai bentuk makar adalah pernyataan yang tidak hanya keliru, tetapi juga berbahaya secara politik dan moral. Terlalu tergesa-gesa membuat kesimpulan dan pas akhirnya memicu kemarahan masyarakat.

Sementara, Gerakan pengibaran bendera anime bajak laut One Piece pada Hari Kemerdekaan RI disebut sebagai gerakan untuk memecah belah kesatuan bangsa. Hal tersebut dilontarkan boleh Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco. Ia mengingatkan adanya upaya sistematis yang berpotensi memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa,

Dasco mendeteksi dan juga dapat masukan dari lembaga-lembaga pengamanan, memang ada upaya-upaya ya namanya untuk memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa, Jumat (1/8/2025).

Baik Dasco dan Firman yang notabenenya keduanya adalah anggota DPR RI, mereka merespons munculnya fenomena pengibaran bendera bajak laut dari manga One Piece menjelang HUT Ke-80 RI pada 17 Agustus ttersebut dengan sinis dan kecurigaan bahkan berakhir pada tuduhan melawan hukum.

Sikap dan juga pernyataan mereka mencerminkan kegagalan sebagian elit politik dalam membaca realitas sosial yang tengah berkembang. Padahal mereka nyata-nyata mewakili rakyat dan dipilih langsung namun sepertinya mereka justru jaga jarak dan mungkin juga tidak turun ke masyarakat.

Hati nurani dan juga akal sehat mereka hilang, bebal dan nyaris tumpul sebagai wakil rakyat. Ketika masyarakat meluapkan ekspresi kekecewaan, kemarahan, bahkan satir dalam bentuk simbolik, itu bukanlah tanda makar, melainkan cerminan dari akumulasi rasa frustrasi terhadap kondisi kebangsaan yang semakin menjauh dari nilai-nilai keadilan dan kesejahteraan.

Rakyat Indonesia hari ini tidak sedang bermain-main dengan simbol asing apalagi impor ideologi. Mereka sedang mengirim pesan urgen. Alarm bahaya vs alarm bentuk simbol dan gerakan. Pesan dan gerakan tentang ketidakadilan ekonomi, tentang ketimpangan politik, dan tentang rasa kehilangan terhadap makna kemerdekaan yang selama ini diagungkan.

Apa yang disebut sebagai makar dan upaya mengacaukan keamanan dalam narasi politik elite justru membuat rakyat semakin yakin pemerintah tuli dan masa bodoh terhadap berbagai persoalan esensial yang sedang dialami sebagian besar atau nyaris keseluruhan masyarakat Indonesia.

Masyarakat memilih mengkritik dengan cara mengibarkan bendera bajak laut yang juga merupakan bentuk perlawanan damai dari warga negara yang hak-haknya terus-menerus dikerdilkan dan dikhianati oleh sistem yang dibajak oleh segelintir orang yang berkuasa.

Masyarakat tidak bodoh, dimarginalkan secara politik. Mereka tahu bahwa masalah bangsa ini bukan karena rakyat tidak nasionalis, tetapi karena nasionalisme telah dikooptasi menjadi alat legitimasi elite untuk menutup-nutupi kegagalan mereka menjalankan amanat konstitusi.

Ironis dan geli melihatnya ketika peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia justru dijadikan panggung untuk menekan ekspresi publik. Momen yang seharusnya penuh sukacita justru dipenuhi kecemasan akibat ketakutan akan pembungkaman.

Padahal, dalam sejarah bangsa ini, kemerdekaan diperjuangkan bukan hanya untuk bebas dari penjajahan fisik, tetapi juga dari segala bentuk penindasan struktural. Ketika rakyat mulai merasa hari kemerdekaan hanya sekadar seremoni, itu artinya ada yang salah dalam cara negara menjalankan fungsinya.

Lebih dari itu, tudingan makar terhadap rakyat mencerminkan pembalikan logika yang amat kasar. Makar yang sesungguhnya justru dilakukan oleh para elite yang menyalahgunakan kekuasaan, menumpuk kekayaan dari jabatan publik, duduk di lembaga negara atas dasar relasi politik, bukan kompetensi.

Mereka yang seharusnya menjaga konstitusi justru menjadi aktor utama dalam perongrongan nilai-nilai demokrasi. Dalam situasi ini, menjadi wajar jika masyarakat bereaksi keras. Mereka marah, mereka kecewa, dan mereka muak. Muak pada janji-janji kosong, pada teatrikal nasionalisme, dan pada moralitas palsu yang dipertontonkan di ruang publik.

Firman Soebagyo, Dasco atau siapa pun yang hendak menggurui rakyat tentang nasionalisme, seharusnya bercermin lebih dahulu pada integritas diri dan institusi tempat mereka berada. Tidak ada satu pun warga negara yang bisa diajari mencintai tanah airnya dengan cara dipaksa atau ditekan. Nasionalisme tumbuh dari keadilan, bukan dari intimidasi. Rakyat tidak butuh ceramah. Mereka butuh bukti nyata bahwa negara hadir melindungi, bukan menuduh dan menindas.

Tuduhan bahwa ekspresi rakyat adalah tindakan makar adalah bentuk keangkuhan politik yang keterlaluan. Jika hari-hari ini rakyat terlihat sinis, bukan karena mereka melupakan jasa pahlawan, tetapi karena mereka melihat cita-cita para pahlawan justru dikorupsi oleh mereka yang kini mengaku sebagai penjaga republik. Republik ini bukan milik segelintir elit. Republik ini milik seluruh rakyat Indonesia.

Maka siapa pun yang mencoba mengklaim nasionalisme dan patriotisme sebagai milik eksklusif kelompok tertentu, sejatinya sedang melecehkan semangat persatuan dan kesetaraan yang menjadi dasar negara ini berdiri.

Catatan kritis dari pernyataan Firman Soebagyo dan juga Dasco memang harus diluruskan. Mereka tidak hanya mempersempit nalar publik, tetapi juga menyakiti mereka yang selama ini tetap berjuang hidup di tengah tekanan ekonomi, sosial, dan politik yang tidak menentu.

Kesimpulan, kami dan rakyat dalam satu bahwa dan barusan dan menyatakan bahkan kami bukan makar. Justru mereka sedang melawan makar yang dilakukan secara sistematis oleh mereka yang duduk di kursi kekuasaan tetapi tidak pernah benar-benar berpihak pada rakyat. (*)

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan