FAJAR.CO.ID, JAKARTA - Analis komunikasi politik Hendri Satrio (Hensa) menilai fenomena pengibaran bendera Jolly Roger, simbol dari manga One Piece, seharusnya membuat Menteri Kebudayaan Fadli Zon tergelitik untuk meresponsnya sebagai cerminan keresahan masyarakat.
“Harusnya yang ditampar pertama kali tuh Menteri Budaya, kenapa ada budaya Jepang masuk ke Indonesia dan jadi tren? What happened? Ada apa dengan budaya kita?” ujar Hensa kepada wartawan
Fenomena pengibaran bendera Jolly Roger yang mencuat di media sosial, menurut Hensa, dipicu oleh kebijakan pemerintah yang dianggap meresahkan.
Ia menyoroti kurangnya perhatian terhadap budaya lokal, yang membuat simbol asing seperti Jolly Roger jadi alat ekspresi. Menteri Kebudayaan, menurut Hensa, perlu mempertanyakan mengapa budaya pop Jepang mampu menerjemahkan keresahan politik di Indonesia.
“Jadi ini bentuk protes yang dibuat secara lucu kemudian dekat dengan masyarakat, karena kebijakan-kebijakan seperti pajak amplop hajatan atau wacana WA berbayar membuat masyarakat menyengitkan dahi,” ujar Hensa.
Menurut Hensa, masyarakat mengibarkan bendera Jolly Roger untuk menyuarakan protes terhadap kebijakan pemerintah seperti wacana pajak amplop hajatan hingga pengalihan data pribadi ke Amerika Serikat.
Ia pun melihat, penggunaan simbol-simbol asing dinilai lebih aman ketimbang simbol lokal yang rawan disalahartikan.
“Jadi kalau pakai komiknya Indonesia, dimungkinkan tuh sangat dekat tuh kan, nanti mereka takut juga diapa-apain gitu, kena undang-undang ITE atau apa, jadi ambilnya ceritanya yang di Jepang aja lah,” jelas Hensa.
Hensa mengapresiasi respons politisi seperti Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad, yang melihat pengibaran bendera Jolly Roger sebagai ekspresi biasa tanpa mengarah pada perpecahan.
Menurutnya, pesan Dasco untuk tidak membenturkan masyarakat dengan para penggemar One Piece atau yang kerap disebut Nakama itu sudah tepat.
“Pesannya bang Dasco sudah tepat, Jadi dia bilang kan awalnya dia memang jangan begitu, tapi kemudian dia melanjutkan dikatakan bahwa tolong jangan dibentur-benturkan, karena ini bentuk ekspresi aja, bahkan dia sebut keluarganya dia di lingkarannya juga ada Nakama juga,” kata Hensa.
Ia menyinggung teori revolusi keempat, di mana kepentingan individu kini lebih menonjol ketimbang isu sosial. Masyarakat, menurutnya, tetap memahami batas ekspresi dengan menempatkan bendera Merah Putih di atas simbol lain
“Saya yakin masyarakat paham batasannya, mereka tahu mana yang manga, mana yang nyata, makanya bendera Jolly Roger dipasang di bawah Merah Putih, sesuai pesan Gus Dur soal kebebasan berekspresi,” kata Hensa.
Pemerintah perlu menyadari bahwa pengibaran bendera Jolly Roger mencerminkan protes masyarakat terhadap kebijakan yang kurang tepat.
Hensa menilai buruknya komunikasi pemerintah memperparah keresahan, dan Menteri Kebudayaan harus introspeksi agar budaya lokal lebih berdaya.
Respons yang bijak, seperti merangkul ekspresi ini, dapat membantu memahami aspirasi publik.
“Ya mudah-mudahan dengan fenomena One Piece-One Piece ini pemerintah: 1. Komunikasi diperbaiki 2. Kalau belum ajeg gitu soal kebijakan, jangan ngomong dulu. Jangan setiap pejabat testing the water. Marah loh masyarakat, lama-lama capek ditest-test terus,” tutup Hensa.