FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Tata Negara, Prof. Jimly Asshiddiqie mengapresiasi langkah Bareskrim Polri yang menghentikan penyelidikan dugaan pemalsuan ijazah mantan Presiden Jokowi.
Ia menyebut langkah tersebut sudah tepat dan sesuai dengan semangat hukum yang berkeadilan.
“Ini memang sudah seharusnya demikian,” ujar Jimly di X @JimlyAs (4/8/2025).
Jimly menilai, pendekatan yang diambil Polri mencerminkan prinsip restoratif dan rekonsiliatif dalam penegakan hukum, yang sangat penting dalam menjaga stabilitas nasional.
“Selamat untuk kepolisian yang mengutamakan solusi yang bersifat restoratif dan rekonsiliatif,” tambah mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu.
Dikatakan Jimly, keputusan tersebut juga sejalan dengan langkah Presiden yang dalam waktu dekat akan memberikan abolisi dan amnesti umum menjelang HUT ke-80 Republik Indonesia pada 17 Agustus 2025.
"Sejalan dengan keputusan pemberian abolisi dan amnesti umum oleh Presiden, menjelang perayaan Hari Kemerdekaan 17 Agustus 2025," tandasnya.
Sebelumnya, Bareskrim Polri telah menyatakan bahwa penyelidikan terkait ijazah Presiden Jokowi dihentikan karena tidak ditemukan unsur pidana.
Penyelidikan itu juga dianggap telah memenuhi syarat administratif serta tidak berdasar kuat untuk dilanjutkan ke tahap penyidikan.
Pernyataan itu tercantum dalam Surat Pemberitahuan Perkembangan Penanganan Dumas (SP3D) yang ditandatangani langsung oleh Kepala Biro Pengawasan Penyidikan Bareskrim, Brigjen Pol Sumarto.
Surat tersebut telah dikirimkan ke pihak pelapor, yakni Wakil Ketua Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA), Rizal Fadillah.
“Penghentian penyelidikan sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku,” bunyi kutipan dari isi surat SP3D, dikutip pada Senin (4/8/2025).
Adapun dokumen-dokumen yang sebelumnya diserahkan TPUA ke penyidik, dinilai tidak memenuhi syarat sebagai alat bukti hukum dalam kasus tersebut.
Hal ini menjadi dasar utama Bareskrim untuk menghentikan penanganan perkara.
Namun, pihak TPUA tidak tinggal diam. Mereka melayangkan surat keberatan atas keputusan tersebut, menyatakan bahwa dasar hukum penghentian penyelidikan tidak sejalan dengan ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) maupun Peraturan Kapolri (Perkapolri).
“Bahwa penghentian penyelidikan 22 Mei 2025 yang dibenarkan dalam SP3D 25 Juli 2025 berdasar alasan ‘sudah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku’ tidaklah benar, karena tidak sesuai dengan ketentuan KUHAP maupun Perkapolri,” demikian isi surat keberatan TPUA yang dirilis Selasa (29/7/2025), dan ditandatangani Rizal Fadillah.
Rizal juga menyoroti bahwa Presiden Joko Widodo maupun dokumen ijazah aslinya tidak dihadirkan dalam gelar perkara khusus yang dilangsungkan pada 9 Juli 2025.
Ia pun menegaskan pentingnya membedakan antara alat bukti dan barang bukti dalam proses hukum.
“Pasal 184 KUHAP menyatakan bahwa alat bukti adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa,” kata Rizal dalam pernyataannya.
Atas dasar itu, TPUA mendesak agar proses hukum tidak dihentikan begitu saja, dan menilai Bareskrim seharusnya membawa perkara ini ke tahap pembuktian lebih lanjut. (Muhsin/fajar)
Pakar Hukum Tata Negara, Prof. Jimly Asshiddiqie