FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Kuasa hukum Laksamana Muda TNI (Purn.) Leonardi mengatakan kliennya tidak layak ditetapkan menjadi tersangka di kasus dugaan korupsi pengadaan user terminal untuk satelit slot orbit 123 derajat bujur timur pada Kementerian Pertahanan.
“Satu hari pun klien saya, Pak Leonardi, tidak layak menjadi tersangka dan diminta bertanggung jawab secara pidana, bahkan ditahan. Dia tidak layak satu hari pun,” kata kuasa hukum Leonardi, Rinto Maha, di Jakarta, Selasa.
Rinto mengatakan tidak ada kerugian negara yang nyata dalam kasus tersebut karena tidak ada pembayaran yang dilakukan oleh Kemhan atas invoice (permintaan pembayaran) yang diajukan Navayo International AG, pihak ketiga dalam pengadaan dimaksud.
Menurut dia, laporan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang menyebut terdapat kerugian negara senilai Rp306.829.854.917,72 hanyalah estimasi kewajiban dan belum pernah dibayar melalui kas negara kepada Navayo.
“Di LHP (laporan hasil pemeriksaan) yang menjadi batu pijakan penyidik ini sifatnya masih potential loss (kerugian potensial), belum dibayar, jadi kalau sudah dibayar, mengaku rugi, itu bisa. Ini belum dibayar, mengaku rugi, nah itu jadi aneh,” ujar Rinto.
Rinto juga mengatakan tidak ada unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain dalam kasus ini. Sebab, Leonardi tidak menerima keuntungan pribadi atas proyek tersebut, sementara Navayo tidak menerima pembayaran dari pemerintah Indonesia.
Di samping itu, Rinto menjelaskan bahwa selaku penjabat pembuat komitmen (PPK), Leonardi hanya menjalankan fungsi administrasi sesuai perintah atasan. Maka dari itu, menurut dia, kliennya tidak dapat dipidana.
Rinto juga menyebut kliennya tidak menyalahgunakan wewenang. Leonardi, kata dia, menandatangani kontrak dengan Navayo setelah daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) diterbitkan.
Dijelaskannya, penandatanganan kontrak itu dilakukan pada saat DIPA tersedia, yakni sekitar bulan Oktober 2016, bukan pada tanggal 1 Juli 2016 ketika anggaran belum ada sebagaimana yang dituduhkan kepada kliennya.
Kuasa hukum mengeklaim Leonardi meneken kontrak dengan Navayo atas disposisi atasan. Sebelum penandatanganan kontrak, Leonardi disebut sudah mengajukan surat permohonan petunjuk kepada atasan.
Pada awal 2017, sambung dia, Leonardi sempat bersurat ke Navayo untuk menghentikan pengiriman barang karena struktur pelaksanaan belum lengkap. Leonardi juga disebut menginisiasi adendum kontrak sebagai langkah korektif..
Lebih lanjut kuasa hukum menekankan Leonardi bukan pihak yang berwenang untuk memenangkan Navayo dalam proyek pengadaan user terminal ini. Menurut Rinto, hal itu merupakan wewenang pengguna anggaran.
Diketahui, pada Mei 2025, Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan Leonardi sebagai salah satu tersangka kasus dugaan korupsi pada proyek pengadaan user terminal untuk satelit slot orbit 123 derajat bujur timur pada Kementerian Pertahanan tahun 2016.
Adapun Leonardi merupakan mantan Kepala Badan Sarana Pertahanan Kementerian Pertahanan dan pejabat pembuat komitmen atau PPK. Terkait status tersangkanya, Leonardi sudah mengajukan permohonan praperadilan pada 16 Juli 2025 ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Selain Leonardi, ada dua tersangka lainnya yang sudah ditetapkan Kejagung, yaitu ATVDH (Anthony Thomas Van Der Hayden) selaku Tenaga Ahli Satelit Kementerian Pertahanan, serta GK (Gabor Kuti) selaku CEO Navayo International AG.
Direktur Penindakan pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Militer Kejagung Brigjen TNI Andi Suci mengatakan Leonardi selaku PPK di Kementerian Pertahanan menandatangani kontrak kerja sama dengan GK selaku CEO Navayo pada 1 Juli 2016.
“Perjanjian untuk penyediaan terminal pengguna jasa dan peralatan yang terkait senilai 34.194.300 dolar AS dan berubah menjadi 29.900.000 dolar AS,” kata Andi dalam konferensi pers di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Rabu (7/5) malam.
Akan tetapi, penandatanganan kontrak kerja sama tersebut dilakukan tanpa adanya anggaran Kementerian Pertahanan. Selain itu, penunjukan Navayo sebagai pihak ketiga juga tanpa melalui proses pengadaan barang dan jasa.
Setelah adanya kerja sama tersebut, Navayo mengeklaim telah melakukan pekerjaan berupa pengiriman barang dan program kepada Kementerian Pertahanan dengan berdasarkan empat buah sertifikat kinerja (CoP), salah satunya atas persetujuan Leonardi. (Pram/fajar)