MK Tolak Gugatan Partai Solidaritas Indonesia

FAJAR.CO.ID, JAKARTA - Gugatan terkait keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik yang hanya diwajibkan pada tingkat pusat ditolak Mahkamah Konstitusi (MK). Adapun gugatan tersebut diajukan Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
"Menolak permohonan pemohon sepanjang berkenaan dengan Pasal 173 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum," kata Ketua Majelis Hakim MK Arief Hidayat saat membacakan putusan perkara nomor 60/PUU-XV/2017, Kamis (11/1).
Dalam permohonannya, PSI berpendapat bahwa Pasal 173 ayat (2) huruf e UU Pemilu 2017 yang berbunyi, menyertakan paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat adalah bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (2), dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.
Namun, mahkamah mengatakan, permohonan itu tidak berdasarkan hukum. "Permohonan pemohon sepanjang berkenaan dengan Pasal 173 ayat (2) huruf e UU Pemilu tidak beralasan menurut hukum," kata Hakim Saldi Isra.
Dalam pertimbangannya, mahakamah berpendapat bahwa mandat kebijakan afirmasi terhadap perempuan dalam politik telah diambil dan diterapkan sejak perubahan UUD 1945 sesuai ketentuan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945.
Baik UU tentang Partai Politik maupun UU Pemilu yang telah mengadopsi ketentuan-ketentuan terkait perlakuan khusus bagi perempuan untuk berada di kepengurusan partai politik maupun dalam pencalonan sebagai calon anggota DPR dan DPRD.
"Bahkan sejak UU 8 tahun 2012, kebijakan afirmasi terhadap pencalonan perempuan dalam pemilu anggota DPR dan DPRD semakin diperkuat dengan mengatur bahwa daftar bakal calon anggota DPR dan DPRD memuat paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan," tutur Hakim Saldi
Bahwa syarat kepengurusan partai politik dengan menyertakan paling rendah 30 persen keterwakilan perempuan untuk kepengurusan tingkat pusat saja, tidak hanya diatur dalam UU Pemilu. Melainkan diatur dalam UU Partai Politik.
Hakim juga berpendapat, ketentuan yang diatur dalam Pasal 173 ayat (2) huruf e UU Pemilu a quo telah sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU Partai Politik. Bahwa apabila ketentuan Pasal 173 ayat (2) huruf e dimaknai sebagaimana dimohonkan oleh Pemohon, maka akan terjadi ketidaksesuaian antara UU Pemilu dan UU Partai Politik terkait syarat keterwakilan perempuan dalam kepengurusan partai politik.
"Bagaimanapun, syarat keterwakilan perempuan dalam kepengurusan partai politik bukan saja bagian dari syarat menjadi peserta pemilu melainkan juga syarat bagi kepengurusan partai politik sendiri," sebutnya.
Selain itu, dalam pelaksanaan pelibatan perempuan dalam politik, sekalipun kebijakan afirmasi telah diterapkan, peran perempuan untuk turut serta dalam partai politik maupun menjadi calon anggota legislatif dalam pemilu masih belum maksimal.
Bahkan, terdapat sejumlah pengalaman empiris, partai politik justru mengalami kesulitan untuk mencari dan memenuhi batas mininum keterwakilan perempuan dalam partai maupun dalam pencalonan anggota legislatif.
"Dengan demikian, masalah tersebut sesungguhnya bukanlah semata-mata persoalan kebijakan afirmasi, melainkan juga terdapat persoalan lain dalam hal ini terutama pendidikan politik perempuan," tutur Hakim Saldi.
Hakim Saldi juga mengatakan, dalam kondisi di mana masalah keterlibatan perempuan di partai politik dan pemilu bukanlah semata masalah kebijakan afirmasi, maka apabila hal itu dipaksakan dengan menerapkan kebijakan minimal 30 persen perempuan untuk semua tingkat kepengurusan partai politik.
Mahkamah berpendapat, hal itu justru tidak akan berdampak baik bagi kemajuan kualitas demokrasi partai politik dan elektoral Indonesia. Sebab, berpotensi mengurangi kesempatan warga negara membentuk partai politik untuk menjadi peserta pemilihan umum semata-mata karena tidak terpenuhinya syarat dimaksud.
"Dalam konteks ini, Mahkamah bukan tidak setuju bahwa kebijakan tersebut dapat ditetapkan pada seluruh tingkat kepengurusan partai politik, melainkan bahwa kebijakan afirmasi tersebut harus diterapkan sesuai kondisi dan perkembangan partai politik dan pemilu Indonesia hingga hari ini," tukas Hakim Saldi. (Fajar/JPC)