Abraham Samad Nilai Permintaan Wiranto Bentuk Intervensi Terhadap KPK

FAJAR.CO.ID, JAKARTA - Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi periode 2011-2015, Abraham Samad mengatakan, permintaan Menkopolhukam Wiranto yang meminta agar lembaga antirasuah menunda proses penetapan tersangka terhadap calon kepala daerah yang terindikasi korupsi, telah mengintervensi lembaga indepen yang kini digawangi Agus Rahardjo cs. Oleh karena itu, Abraham menilai, sikap yang dilakukan KPK menolak permintaan mantan Panglima ABRI tersebut sudah tepat.
"Jabatan yang melekat pada Pak Wiranto adalah Menkopolhukam. Jadi, permintaan terhadap KPK agar menunda pengumuman tersangka kepala daerah yang terlibat korupsi itu sudah merupakan bentuk intervensi terhadap KPK yang merupakan lembaga independen,” kata Abraham Samad, dalam keterangan tertulis, Rabu(14/3).
Abraham mengingatkan, dalam sistem tata negara, KPK ditempatkan sebagai lembaga independen yang berfungsi sebagai lembaga penegakan hukum dalam hal pemberantasan korupsi, termasuk korupsi yang dilakukan di sejumlah daerah yang melibatkan calon kepala daerah petahana atau yang bukan petahana.
Namun dalam konteks hukum dan ketatanegaraan, kata Abraham, permintaan Wiranto tetaplah dapat dikategorikan intervensi terhadap tugas dan fungsi KPK sebagai lembaga independen yang bertugas melakukan penegakan hukum terhadap kasus-kasus korupsi.
“Jadi KPK tidak perlu menanggapi permintaan Pak Wiranto itu, syukur kalau malah menolaknya secara tegas,” tegas pendiri Anti Corruption Comission Makassar tersebut.
Abraham dapat memahami, apa yang disampaikan Wiranto secara substantif bermuatan positif, yakni dalam penyelenggaraan Pilkada di 171 daerah, agar tidak menimbulkan kegaduhan. Pengumuman calon kepala daerah yang akan ikut pilkada diduga dapat memengaruhi tahapan pilkada serentak dan pilihan rakyat terhadap calon kepala daerah yang ditetapkan sebagai tersangka.
Namun demikian Abraham mengingatkan, kalaupun KPK meluluskan permintaan Wiranto untuk menunda pengumuman tersangka, maka dampak yang ditimbulkan atas penundaan itu tidaklah kecil dan bahkan semakin buruk.
Abraham mengemukakan data dan fakta dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengenai adanya aliran dana mencurigakan yang diduga digunakan terkait Pilkada Serentak 2018. Dari data tersebut kata Abraham, PPATK mencatat 53 transaksi elektronik dan 1.066 transaksi tunai puluhan miliaran rupiah. Sedang perihal aliran dana yang terkait peserta pilkada tercatat 368 transaksi mencurigakan dan yang sudah ada hasil analisanya sebanyak 34 laporan.
Dengan adanya data tersebut, menurutnya, akan berbahaya jika KPK tunduk pada intervensi sebagaimana yang dilakukan Wiranto. Dampaknya, kasus-kasus yang melibatkan calon kepala daerah yang melakukan tindak pidana korupsi bisa berjalan di tempat, bahkan alat-alat bukti terhadap kasus tersebut bisa hilang atau sengaja dihilangkan untuk menghapus jejak.
“Jika tunduk kepada keinginan Pak Wiranto itu, KPK bisa ditafsirkan sebagai memberi toleransi terhadap kejahatan korupsi oleh KPK itu sendiri. Atau paling tidak dikategorikan sebagai upaya pembiaran terhadap terjadinya kejahatan korupsi,” kata Abraham.
Sebelumnya, Wiranto meminta KPK menunda penetapan tersangka cakada yang terlibat kasus korupsi. Wiranto berdalih, penetapan tersangka cakada yang terlibat kasus korupsi akan mengganggu keberlangsungan pilkada.
Menurutnya, jika sudah ditetapkan sebagai tersangka, maka kepercayaan pemilih terhadap cakada dan partai pendukungnya akan turun. Wiranto menilai permintaan pemerintah ini tidak berlebihan.
Dia menambahkan, proses hukum terhadap cakada yang terlibat kasus korupsi bisa dilanjutkan usai pilkada berakhir. (Fajar/JPC)