DPR Bantah RUU PKS Disahkan Menjadi UU

  • Bagikan
"Atas pertimbangan tidak harus dihukum maka kita bisa menggunakan frase 'kekerasan' seksual tidak 'kejahatan', tetapi sepenuhnya diserahkan kepada ahli hukum, apakah menggunakan frase 'kekerasan' atau 'kejahatan'", tegasnya. Sebetulnya kata Nahei, Komnas Peremnpuan tak terlalu mempermasalah frase "kekerasan" atau "kejahata". Hal yang terpenting adalah substansi dari RUU PKS tidak tercerabut, yaitu melihat kebutuhan korban terhadap akses keadilan dan pemulihan. Demikian juga halnya dengan isu dalam naskah akademik RUU PKS ini dianggap kebarat-baratan karena menggunakan feminist legal theory. "Kalau melihat teori-teori dalam ilmu penelitian, fenomenologi, sosiologi, dan antropologi, itu semuanya banyak teori barat yang digunakan dalam ruang-ruang akademi kita. Kenapa ketika kita menggunakan feminist legal theory itu dinilai barat, yang sama sekali jauh dari nilai-nilai agama. Saya kira itu tidak fair, karena seungguhnya feminist legal theory itu tujuannya hanya untuk melihat dalam konteks apa sesungguhnya sebuah hukum itu dicanangkan dan dampaknya apa terhadap perempuan secara spesifik. Jadi sesungguhnya feminist legal theory itu untuk melihat relasi laki-laki dan perempuan dalam konteks hukum," ungkapnya. Lalu ada pula kelompok menurut Nahei, yang menolak RUU PKS dengan alasan RUU ini dilepaskan dari nilai-nilai agama, karena terlalu mengunggulkan hak individu atau HAM. "Misalnya di dalam naskah akademik RUU PKS dinyatakan perempuan itu punya hak atas tubuhnya sendiri, yang seakan-akan ketika perempuan punya hak atas tubuhnya sendiri, termasuk laki-laki juga punya hak atas tubuhnya sendiri, sehingga sekan-akan Tuhan tak punya akses apapun untuk mengatur tubuh seseorang itu," ujar dia.
Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan