Kulturalisasi Struktur NU: Sebuah Refleksi Mini

Saya menulis ini bukan sebagai orang Nahdlatul Ulama (NU), sebab saya sadar diri bahwa saya tidak memiliki kartu anggota NU. Tapi, saya menulis ini atas dasar bahwa secara kultural keagamaan saya memang terasa sangat NU. Karena itulah, saya tidak meletakkan diri saya sebagai outsider dari NU melainkan sebagai warga NU yang siap membela apapun yang dipedomani oleh NU.
Sebagai warga NU, perkenankan saya untuk merefleksi apapun yang saat ini terjadi di tubuh NU, karena rasa hormat dan rasa sayang saya kepada NU. Pertama saya ingin mengatakan bahwa gejala pragmatisme kekuasaan yang saya rasakan saat ini di tubuh NU perlu untuk dibicarakan lagi. Kedua saya merasa bahwa ada semacam simtom Post-Traumatic Syindrom Disorder (PTSD) bersifat kekuasaan yang saat ini diderita oleh sebagian warga NU. Atas dasar itulah, saya ingin membicarakan hal tersebut dibawah ini.
NU adalah organisasi Islam terbesar di Nusantara, disamping ada Muhammadiyah, Persis, serta lainnya. Sebagai oraganisasi terbesar itulah, maka saya boleh mengatakan bahwa berbicara mengenai NU dari segi apapun itu ialah sama saja berbicara mengenai kondisi Indonesia. Artinya, jika kita ingin bicara mengenai situasi politik Indonesia saat ini maka wujud yang paling dekat dengan kita ialah NU.
Belakang ini saya melihat bahwa politik NU mulai berwajah dua. Jujur, saya tidak tahu pasti kenapa beberapa tahun ke belakang NU terlalu dekat dengan lingkaran kekuasaan yang begitu pragmatis. Padahal, dalam sejarah Indonesia, sebagaimana yang di tulis oleh Riflecks dalam bukunya berjudul "Sejarah Alternatif Indonesia" mengungkapkan bahwa pada zaman Soekarno, NU merupakan satu-satunya partai yang begitu besar memperjuangkan syariatisasi sistem di Indonesia bersamaan dengan Masyumi di Konstituante melalui jalur-jalur politik pragmatis. Namun, sungguh malang, majelis yang terhormat itu tiba-tiba dibubarkan oleh Soekarno melalui dekrit presiden dengan alasan ingin menerapkan demokrasi terpimpin. Kita tahu bahwa Soekarno tidak mungkin menelan ludahnya sendiri di depan forum internasional terkait penerapan Nasionalis-Agama-Komunis (Nasakom) yang sudah digagas beliau sejak lama. Karena itulah, Soekarno membubarkan Konsituante (Riflecks, 2011). Langkah politik Soekarno inilah yang kemudian diterapkan oleh waliyullah Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di era kepemimpinannya ketika beliau ingin membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).