Kulturalisasi Struktur NU: Sebuah Refleksi Mini

Lambat laun, organisasi-organisasi Islam yang berwajah politik di masa lalu itu mulai evaluasi diri, bahwa untuk memperjuangkan nilai-nilai ke-Islam-an tidak selamanya melalui gerakan politik semata. Kemudian hampir banyak organisasi-organisasi Islam politik itu mulai berganti wajah, salah-satu ladang perjuangannya kemudian beralih ke gerakan dakwah. Bermunculan gerakan Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII), dan kemudian NU ditangan waliyullah Gus Dur membawa pandangan warga Nahdliyin kembali ke khittah perjuangannya. Gerakan waliyullah Gus Dur itu bisa saya masukkan ke dalam pola gerakan kulturalisasi dalam tubuh NU. Dan saya pikir bahwa langkah waliyullah Gus Dur itu sungguh sangat tepat sekali.
Setelah waliyullah Gus Dur meninggal, belakangan ini tercium aroma gerakan politik yang pragmatis kembali dibangkitkan dalam tubuh NU. Entah siapa dalangnya dibalik ini semua, saya tidak mau men-justifikasi-nya. Tapi, yang saya rasakan memang seperti itu adanya. Saya merasakan ada simtom PTSD-Leadership yang saat ini di derita oleh sebagian warga Nahdliyin yang berpikiran pragmatis-struktural. Akibat itu, saya juga merasakan ada sedikit perlawanan dari gerakan kulturalisasi terhadap bangunan pemikiran struktural-pragmatis ini. Dan lagi-lagi, saya tidak tahu secara pasti siapa dalang dibalik gerakan kulturalisasi ini.
Dalam kacamata psikologi kekuasaan, saya melihat ada simtom PTSD-Leadership tersebut di dalam tubuh NU. Mungkin.. sekali lagi, mungkin.. karena dulunya NU sempat berkuasa melalui jalur politik, maka wajar jika simtom PTSD-Leadership ini kembali muncul ke permukaan.