Selamat Jalan Prof. Lawa

Kami seperti masuk di hutan belantara karena buku-buku saat itu belum ada sama sekali terkait hal tersebut (setidaknya di Indonesia) dan ingat ini di tahun 1997 internet dan google belum jadi “kebutuhan utama”. Namun kekhawatiran itu ditepis beliau dengan telaten mengajari kami di ruang kelas khusus terkait Macintosh itu. Setelah lulus S1, kami jadi bisa bangga juga. Iyya itu tadi, minimal sudah bisa “menjual diri” di CV dengan kalimat “memahami Macintosh” yang saat itu masih belum bamyak orang yang mendalami, hehe.
Karakter santunnya mulai saya rasakan sejak menjadi dosen. Apalagi saat saya diminta oleh beliau untuk menjadi Sekretaris Jurusan (bidang kemahasiswaan) di periode pertamanya menjadi Kajur. Ada sapaan khasnya yang sampai terakhir ketemu beliau masih diucapkan. “Bagaimana Kabar Anak Muda”?, kalimat yang sangat sering diucapkan kepada siapapun dosen-dosen muda yang cukup dekat dengannya. Ada rasa “mengayomi” yang lekat dengan sapaan khas itu. Di balik sosoknya yang santun itu, jangan salah sangka. Beliau adalah orang yang sangat detail.
Kami biasa berdiskusi panjang untuk satu hal yang kadang menurut saya sebenarnya sangat sederhana. Tapi itulah beliau, konsisten dengan keyakinannya. Namun bila sudah diputuskan, kalimat santunnya kembali akan keluar “Anak muda saja yang urus, kita tunggu saja hasilnya”. Terkesan berbelit karena detail (bagi orang yang baru berinteraksi dengannya) tapi percaya pada proses yang berjalan dan menikmati hasil akhir adalah hal yang melekat erat pada dirinya.