Pilpres di Antara Cinta dan Nestapa

Oleh: Syamsuddin Radjab
(Direktur Eksekutif Jenggala Center)
Pilpres atau pemilu di Indonesia acapkali disebut pesta rakyat. Sebagai pesta, tentu rasa riang, senang, gembira, dan bahkan ketawa-ketiwi sambil berharap pagi tak pernah datang karena sepanjang malam dihiasi kesenangan. Amboi asyiknya.
Saya masih ingat ketika PSM menjadi juara liga Indonesia 2000 setelah menekuk Pupuk Kaltim dengan skor 3-2 menempatkan klub bola kesayangan masyarakat Makassar ini tidak hanya menjuarai liga saat itu tetapi juga tampil mewakili Indonesia di piala Champions Asia musim 2000-2001. Semesta warga kota tumpah ruah ke jalan berpesta semalam suntuk merayakan kemenangan klub bola kesayangannya.
Imajinasi pesta berubah menjadi horor ketika dipersentuhkan dengan pilpres seperti saat ini. Saling serang, menihilkan paslon satu dengan lainnya, bertetangga tapi bertengkar dan bahkan sekelompok kaum papa harus terusir dari pondoknya hanya karena berbeda pendapat dengan sang tuan tanah pemilik lahan.
Pesta yang diharap menyenangkan segera berubah menyeramkan, kegembiraan sekecap menjadi keganasan, mengubah cinta menjadi benci, ulama penyebar kebajikan menjadi bajingan, pendidik menjadi pendosa, dan pengayom menjadi penyamun. Alangkah mengerikannya!
Jika pilpres sebagai pesta dimaknai kedalam dua keadaan diatas, pertanyaan yang agak serius adalah apakah yang bermasalah pada pestanya atau pencipta keadaan pesta? Dengan dua pertanyaan itu, pesta tetaplah dalam makna yang menggembirakan dan menyenangkan bukan menyeramkan.
Para pelaku dalam pesta itulah sejatinya yang mengubah keadaan pilpres dari guluman senyum menjadi gulungan jeram. Mengubah genre alur film, dari romantis menjadi horor dan bahkan laga. Semuanya akan sangat bergantung kepada pelaku-pelaku dalam perhelatan pilpres, dan bukan masyarakatnya.
Agar menjadi pesta rakyat yang sebenarnya, maka mulai dari pasangan calon presiden, tim pemenangan, relawan, pendukung dan simpatisan penuh dengan senyuman meraih dukungan rakyat maka pesta tak harus berakhir menjadi pasta.
Emak-emak tak harus dipermak oleh aparat penegak hukum yang berujung jeruji besi karena menyebarkan hoaks dan tak perlu merasakan dinginnya lantai tahanan dibandingkan dengan nyenyaknya tidur memakai springbed bermerek King Koil.
Bercinta dengan Pilpres
Kesadaran konstitusional masyarakat harus dibangun oleh penyelenggara negara dimulai dari penyelenggara itu sendiri bahwa pilpres adalah ritual lima tahunan yang harus dilaksanakan dan digunakan sebagai mekanisme baku dalam sirkulasi kepemimpinan nasional melalui pemilu.
Di masa Orde Baru, kita memiliki pengalaman panjang 32 tahun dengan masa enam kali pemilu pura-pura. Jangan lagi terulang pura-pura pemilu diera reformasi dengan keterbukaan yang demikian telanjang.
Dengan kesadaran politik rakyat melalui pengalaman traumatis dimasa lalu memunculkan partisipasi kolektif dan massif membangun kesejatian demokrasi dengan cara melibatkan diri kedalam pergumulan politik pilpres menjadi relawan atau partisan realis.
Ini menandakan kecintaan rakyat terhadap pilpres agar pesta tetap menggembirakan walau berbeda pilihan. Mungkin mereka tidak paham politik tapi mereka juga tidak menginginkan senyuman pagi tetangganya berubah menjadi suram hanya karena pilpres.
Di sini tingkatan cinta melebihi sekadar pilpres karena urusan kemanusiaan dan pemaknaan teologis dan memandang pilpres sekedar kekuasaan dan berjangka waktu pendek. Sementara tetangga akan selalu berdampingan berpuluh-puluh tahun hingga turun-temurun.
Tetapi mencintai pilpres itu sendiri menandakan kesadaran bernegara dan momentum memberikan kedaulatan tertinggi sebagai rakyat untuk memilih calon pemimpin nasional, apakah akan membahagiakan atau sebagai ancaman kebahagiaan itu sendiri.
Sayangnya, bercinta dengan pilpres masih diwarnai cinta buta, tanpa nalar dan kejernihan nurani. Pilihan terhadap calon presiden karena cinta tapi buta akan memandang orang lain seolah benci dengan pilihannya, padahal orang lain sedang memberi senyum kepadanya karena menghargai pilihannya dan bukan karena benci.
Akan lebih runyam lagi keadaannya, jika cinta buta terhadap capres bertemu dengan cinta buta pilihan capres lainnya. Tak saling memandang tapi kadung cinta berlebihan sehingga melakukan apa pun agar yang dicintainya terpilih dengan cara menyakiti. Jenis pemilih seperti ini belum sampai pada kesadaran teologis, bahwa cinta tak harus memiliki. Bahwa capres dukungan tak harus terpilih.
Politik haruslah dibangun di atas landasan etik dan moral yang kuat agar bisa dibedakan mana tujuan luhur politik yang hakiki, dan mana politik yang menghalalkan segala cara mencapai tujuan. Tanpa itu, persepsi politik itu jahat akan menjadi dominan dalam pikiran dan mempengaruhi tindakan dalam politik.
Akibatnya, berpolitik dalam momentum pilpres bukan menghadirkan cara yang elegan dan bermartabat melainkan nestapa bagi yang dikorbankan. (*)
Losari, 30 Maret 2019