Berebut Sulsel dalam Pilpres Bharatayudha

Oleh Syamsuddin Radjab
(Direktur Eksekutif Jenggala Center; Dosen HTN UIN Alauddin Makassar)
Pemilihan presiden (Pilpres) kian dekat, tinggal dua pekan lagi Indonesia akan memiliki pemimpin nasional baru: baru untuk kedua kalinya atau baru pertama. Semakin dekat, intensi kedua pasangan calon presiden makin agresif bertandang ke daerah-daerah yang dinilai strategis dan penting dalam peta politik pemenangan.
Dari kacamata geopolitik strategis, Sulawesi Selatan merupakan daerah utama yang selalu menjadi perhatian Jakarta dalam potret politik kekuasaan. Bukan saja karena memiliki stok pemimpin berkaliber tetapi pengaruh “petuah” tokoh Sulsel getaran resonansinya terasa kesemua wilayah Indonesia timur bahkan barat.
Ibarat gempa, Sulsel adalah titik pusar putaran politik diluar Jawa selain Jabar, Jateng dan Jatim. Dalam hitungan popular vote, Jawa adalah sentrum magnetik berarus kuat dalam permainan perebutan kekuasaan politik, namun Sulsel lebih pada pertimbangan gengsi (prestige) dan kebanggaan (pride) jika mampu menaklukannya.
Di zaman kompeni, Belanda nyaris frustasi ingin menguasai daerah ini karena perlawanannya yang sengit dan pantang menyerah. Dibawah pimpinan Sultan Hasanuddin, dentuman meriam belanda tak membuatnya keder apalagi lari tunggang langgang dari peperangan.
Itulah sehingga Speelman menjulukinya “Ayam Jantan dari Timur”, ayam jago (berani) dari Makassar atau de Haantjes van Het Oosten. Suatu sematan agung kepada tokoh perlawanan dimasa penjajahan karena kegigihannya mempertahankan wilayah dan kehormatan bangsanya. Hasanuddin baru dapat ditaklukkan ketika Belanda menerapkan taktik devide et impera (politik adu domba dan pecah belah).