Berebut Sulsel dalam Pilpres Bharatayudha

Memenangkan wilayah Papua, Maluku, Kalimantan dan Nusa Tenggara misalnya memberikan kegembiraan kepada capres dan tim pemenangannya, tetapi tanpa memenangkan Sulsel tak mendapatkan rasa bangga dan kehormatan sebagai petarung politik nasional.
Disini makna saya sebutkan bahwa Sulsel bukan soal angka tapi nilai atas kemenangan kontestasi yang memberi cap gengsi dan kebanggaan tersendiri. Bagi prajurit pejuang sudah banyak mengalami peperangan dipelbagai tempat, namun ia akan menceritakan perang laga kebanggaan yang membuatnya berbeda dan ada gengsi tersendiri pada perang yang dialaminya. Dan itu adalah Sulawesi Selatan.
Sebagai contoh kecil, banyak orang memakai smartphone seperti yang ada digenggaman anda saat ini tapi akan berbeda penilain orang dan gengsinya jika anda menggenggam handphone bermerek Diamond Rose iPhone, Gresso Luxor, Vertue Cobra, atau Diamond Crypto. Itulah perbedaan antara bangga (proud) dan kebanggaan (pride). Sulsel adalah kebanggaan politik dalam pilpres.
Maka tak mengherankan jika kedua pasangan tanpa henti berusaha sekuat tenaga mengguyur massa lapangan kebanggaan kota Anging Mammiri yakni lapangan Karebosi dalam tiap kampanye akbar terbuka yang digelar masing-masing pasangan calon.
Prabowo bahkan membuka kampanye terbukanya dilapangan Karebosi, pada Ahad, (24/3/2019) disusul capres petahana, Jokowi (31/3/2019) dengan jumlah massa yang lebih besar. Kesemuanya karena Karebosi pemberi cap dengan merek bergengsi.
Pilpres Bharatayudha
Pernyataan Moeldoko pada Februari 2019 menyentak opini publik karena mengidentifikasi pilpres dengan perang total (total war) sebagai reaksi atas puisi Munajat 21 dengan memakai perumpan pikpres sebagai perang badar. Pelbagai reaksi muncul dari kubu lawan seperti diutarakan Fadli Zon (27/2/2019) dengan menyamakan Moeldoko seperti tangan kanan Hitler, Joseph Goebbels menteri proganda Jerman dalam perang dunia kedua yang memerintahkan perang total dengan sekutu.