Pilpres Endgame

  • Bagikan
Anak-anak kecil kita sangat lincah berorasi meniru gaya marah dan bernarasi sumpah serapah bak para calon dan tim sukses sungguhan. Anak-anak kita secara sadar maupun tak sadar sudah melatih kebenciannya, jika mengetahui kawannya berasal dari keluarga yang pilihan capresnya tak sama dengan capres pilihan orang tuanya. Guru di sekolah, dosen di kampus, penceramah, tokoh masyarakat, dan sebagainya, juga ikut membenamkan dan melatih rasa tak suka terhadap muridnya, mahasiswanya, jemaahnya, atau warganya, yang tak sepilihan capres dengannya. Pilpres kita ternyata butuh pil (baca obat) untuk bisa segera pulih dari penyakit kronisnya. Pil itu bernama pendidikan, khususnya untuk usia kanak-kanak. Bagaimana mungkin pilpres akan sehat di masa depan jika para orang dewasa di negeri ini masih terus bersumpah serapah di media-media terbuka yang juga bisa disaksikan anak-anak kita. Pilpres masa depan kita masih akan tetap buram jika kita masih mengajarkan ketidakpercayaan terhadap metodologi perhitungan cepat (quick-count), seperti yang saat ini juga masih sedang dipelajari anak-anak kita di mata kuliah metodologi penelitian. Pilpres masa depan kita pun akan semakin buram, jika masih saja ujaran kebencian dan SARA itu terus menggantung secara tak terlihat di belakang bentangan syal “bhineka tunggal ika” yang masih digenggam erat kuku-kuku burung Garuda Pancasila sebagai simbol Negara kita. Saya jadi teringat kisah-kisah heroik masa lalu yang dahulu dibisikkan orang tua kita sebelum tidur. Negeri kita awalnya adalah kerajaan-kerajaan yang terpisah. Lalu penjajah bergantian datang untuk menguasai tanah dan hasil bumi kita. Lalu kita bersepakat melalui proses yang cukup panjang, transit sejenak di prosesi sumpah pemuda, lalu berkumpul di muara kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan