Momentum Merekatkan Keretakan

Oleh: Adnan Saputra (Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya UNHAS)
Memang, tak dapat dibungkiri bahwa tak satu pun insan di muka bumi ini yang luput dari kata salah. Entah disengaja atau tidak, sadar atau tidak, sembunyi atau pun terang-benderang, melalui lisan maupun tulisan, setiap insan pernah khilaf di atasnya, termasuk kekhilafan yang lahir dari rahim kontestasi pemilu baru saja.
SEPERTI gelas yang retak memecah, walaupun dengan usaha yang besar, sulit bagi kita untuk membuatnya utuh seperti sedia kala, sebab retakan-retakan itu tidaklah mudah dihijab dari pandangan hati dan mata. Begitu pun halnya dengan hati setiap insan. Ketika kita melukai hati seseorang, luka itu tentu akan berbekas menjejak, dan tak lekas lenyap dalam hitungan sekejap mata.
Namun, seorang insan yang bijak dan berbudi luhur tak akan pernah merawat luka yang menderanya itu secara terus-menerus dalam jiwanya. Apalagi, sampai terbakar oleh api dendam dan memutus tali silaturahmi. Ia akan menyikapi setiap masalah dengan hati dan pikiran dingin. Dan sikap terbaik seorang insan terhadap orang yang menyakitinya ialah, dengan cara memaafkannya.
Memaafkan adalah puncak kemuliaan hati seorang insan yang dizalimi. Menurut Ibn Al-Qayyim, hakikat memaafkan adalah menggugurkan hak untuk membalas dendam karena kemurahan hati yang bersangkutan, meski ia dapat melampiaskan dendam kesumatnya.
Jadi, pemaaf adalah orang yang tidak mengambil haknya untuk menyakiti dan memusuhi orang yang telah menzaliminya, meski ia sanggup melakukan hal tersebut. Orang seperti inilah yang dijanjikan pahala oleh Allah SWT sebagaimana yang tertuang dalam surah Asy-Syura ayat 40 yang artinya, "Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan serupa. Maka barangsiapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya menjadi tanggungan Allah. Sungguh Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.”