Ketika Jabatan Dilelang

  • Bagikan
Syarifuddin Umar. (ist)
Dalam pelaksanaanya, promosi terbuka itu melalui sejumlah proses panjang, mulai dari persyaratan administratif seperti pangkat dan golongan, track record, membuat makalah, presentasi, wawancara, sampai assessment. Dari proses itu diharapkan bisa menghasilkan orang terbaik untuk menduduki jabatan yang dimaksud. Berdasarkan catatan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), uang hasil jual beli jabatan di pemerintahan selama 2016 mencapai Rp35 triliun. KPK bahkan pernah memperkirakan jumlah yang jauh lebih besar dari praktik jual beli jabatan tahun 2017 lalu. Hal tersebut sungguh sangat memprihatinkan. Para pejabat yang diangkat untuk menangani dan bertanggung jawab atas bidang tertentu, bukanlah orang terbaik dan paling kompeten dalam bidangnya, melainkan karena kemampuannya menyogok atau dekat hubungannya dengan Bupati/Walikota atau elite parpol seperti yang terjadi baru-baru ini. Sejak tahun 2017-2018 setidaknya KPK telah mengungkap empat kasus korupsi jual beli jabatan di birokrasi. Keempat kasus tersebut melibatkan kepala daerah yang notabene adalah seorang politikus, yakni Bupati Cirebon (nonaktif) Sunjaya Purwadisastra, mantan Bupati Jombang Nyono S Wihandoko, mantan Bupati Nganjuk Taufiqurahman, dan mantan Bupati Klaten Sri Hartini. Kasus jual-beli jabatan ini tak hanya di level pemerintah daerah tapi juga di pusat. Munculnya menteri dari partai politik berdampak pula naiknya sejumlah pejabat melalui mekanisme yang tak transparan. Sebagai contoh adalah kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK terhadap Ketua Umum PPP Romahurmuziy yang diduga terlibat dalam pengaturan pengisian jabatan Kakanwil Kemenag Jawa Timur dan Kakan Kemenag Gresik.
Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan