Rencana Amaliyah Pesta Syirik Akbar, Hoaks, dan Masyarakat yang Terbelah

Demokrasinya yang seperti apa? Ya - Demokrasi Pancasila. Bagi kelompok radikalis agama pro kekerasan atau teroris demokrasi itu adalah murni Syirik - bahkan lebih, dia adalah "Syirik Akbar". Dalam chating group messenger, mereka menegaskan pemilihan gubernur itu adalah bagian dari proses demokrasi. Pemilihan pemimpin ala Indonesia adalah pemilihan versi Pancasila yang dilambangkan dengan garuda pancasila, yang dalam chating, mereka katakan sebagai "Burung gepeng".
Mayoritas yang penulis kunjungi dan berdialog semua menegaskan tidak mungkin ada ikhwan mau melakukan Amaliyah pengeboman. Alasannya sederhana karena tidak sejalan dengan perjuangan daulah mereka.
Begitupun tanggapan serupa datang dari beberapa orang mantan nara pidana teroris yang penulis undang berbuka puasa bersama di rumah jabatan beberapa hari yang lalu. Sebagian besar meyakini bahwa teroris tidak bermain di ranah pemilu. Ibarat ikan itu bukan kolamnya.
Kedua; masih dalam konteks "Syirik akbar", situasi sekarang pascapemilu. Sebelum penetapan pemenangan kontestasi - situasi ternyata telah berbalik. Seorang teroris yang tangkap selama dan sebelum penetapan hasil pemenangan 22 Mei 2019 ada 20-an orang. Salah satunya yang bernama Dede Yusuf, yang biasa dipanggil Jundi atau Bondan, yang ditangkap Densus 88 dan memberikan statemen di media.
Statemen tersebut membuat kita tersadar bahwa kini terorisme dalam demokrasi itu mencoba mengambil peran dengan cara menyerang KPU dan Bawaslu. Alasannya logis bahwa "Syirik akbar" harus dituntaskan karena Syirik Akbar itu ternyata tidak lagi hanya ditonton seperti kasus pilgub DKI dulu, harus ada amaliyah nyata. Dede dalam sebuah kesempatan menyampaikan testimoninya sbb; "Assalamualaikum. Nama saya Dede Yusuf alias Jundi alias Bondan.