Game Online, Bukan Permainan Biasa

Itulah mengapa WHO menetapkan kecanduan game sebagai gangguan mental. Mereka menambahkan kecanduan game ke dalam versi terbaru International Statistical Classfication of Dieases (ICD) (Kompas.com 19/06/2018)
Tentu saja ini didasari pada pertimbangan akan bahayanya kecanduan game online. Masih dari sumber yang sama, WHO membeberkan telah meneliti prevalensi kecanduan game dengan mengambil sampel di sekolah-sekolah Manado, Medan, Pontianak dan Yogyakarta pada 2012 lalu. Temuannya berbicara bahwa ada 45,3% dari 3.264 siswa sekolah yang bermain game online selama sebulan terakhir dan tidak berniat untuk meninggalkan. Mengerikan bukan?
PR penting orang tua.
Jika sudah begini, hal paling penting adalah membantu mengurangi kecanduan. Namun, semua harus berawal dari pergeseran paradigma orang tuanya terlebih dahulu, yang menjadi peran utama dalam mendidik anak-anak.
Memberikan ruang kebebasan kepada anak untuk bermain game online agar pekerjaan lainnya clear adalah hal keliru. Ingatlah bahwa kecanduan selalu bermula pada percobaan-percobaan kecil yang kemudian berlanjut pada ketagihan. Semakin sering itensitas waktu sang anak dekat dengan game online yang penuh dengan nuansa adiktif, maka semestinya orang tua khawatir. Bagaimana bisa peran menghibur dipercayakan pada game sementara orang tua bisa melakukannya sendiri.
Sebelum kecanduan, bertindaklah. Begitu banyak orang tua kewalahan mendapati buah hatinya hanya hidup di dunia game, bukan ruang sosial. Banyak orang tua yang shock mendapati tagihan berjuta-juta akibat anak-anak membeli item game. Pusing memikirkan masa depan pendidikan yang tak karuan karena tersita bermain game. Inilah kecanduan.