Menguji Independensi Hakim MK

Kekhawatiran yang berlebihan
Bergulirnya sengketa PHPU terkait hasil Pemilihan Presiden yang mulai disidangkan dengan agenda Sidang Pendahuluan 14 Juni 2019, adalah babak awal dimulainya ”perang”. Tentu tidak bermaksud memaknai konotasi diksi perang dengan menggunakan segala cara bagi Para Pihak yang bersengketa untuk memenangkan peperangan tersebut.
Perang dimaksud adalah perang argumen dan alat bukti dari para pihak agar dapat meyakinkan Majelis Hakim, meletakkan hukum secara proporsional tanpa memaksakan kehendak. MK harus menjadi tempat menemukan keadilan, bukan pengadilan yang tidak menghasilkan kebenaran dan keadilan (Trials Without Truth and Justice). Sehingga kekhawatiran sementara pihak bahwa MK sebagai Mahkamah Kalkulator bisa terjawab.
Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court) adalah benteng terakhir penjaga dan penafsir konstitusi (The Guardian and The Interpreter of Constitution). Putusannya yang bersifat final dan mengikat (Final and Binding), sekiranya dapat memberikan kepastian hukum dan diharapkan mampu mengakhiri polemik hasil Pilpres 17 April 2019 lalu. Meski tidak memuaskan semua pihak, namun harus diterima sebagai konsekuensi logis dari proses panjang pesta demokrasi yang menyita waktu, pikiran dan menguras energi bangsa ini. Pada 28 Juni mendatang, rakyat Indonesia menitipkan amanah besar kepada sembilan Hakim Mahkamah Konstitusi untuk memutus sengketa PHPU seadil-adilnya. (*)