Era Milenial dan Literasi Pancasila

Misalnya, naras-narasi Pancasila harus dikemas dalam bentuk konten-konten dengan nuansa yang karib dengan kehidupan keseharian. Video-video naratif berdurasi pendek harus secara masif diproduksi untuk menyasar kalangan yang tak bisa betah membaca teks tulisan panjang. Hal ini, bukan berarti menyerah pada keadaan dan turut hanyut dalam budaya informasi yang serba instan.
Namun, semata-mata untuk menyiasati kenyataan zaman yang terus bergerak ke arah kehidupan yang semakin praktis. Ini semacam strategi kebudayaan untuk mengintrodusir ide-ide Pancasila agar muda diserap oleh generasi muda yang menjadi pengguna terbesar media informasi, utamanya media sosial dengan ragam platformnya.
Literasi Pancasila, harus pula seturut agenda-agenda keagamaan dan kebudayaan lewat tradisi rakyat yang masih terus hidup. Hal itu harus dilakukan, mengingat lewat agama dan kebudayaanlah sebuah ide dapat diterima secara terbuka oleh masyarakat Indonesia yang multikultural. Sekaligus, sebagai jendela membangun narasi keagamaan dan kebudayaan yang inklusif, sebagai satu visi dari Pancasila itu sendiri.
Ingatan bahwa Pancasila pernah menjadi alat hegemonik penguasa zaman orde baru, memang masih membekas kuat, sehingga setiap upaya yang dilakukan oleh negara untuk memperkuat Pancasila sebagai ideologi bangsa, tidak jarang memantik kecurigaan. Namun, di tengah berbagai persoalan kebangsaan yang terjadi, kita harus menampik berbagai kecurigaan itu, dengan membuka partisipasi seluas-luasnya, melibatkan berbagai kalangan untuk turut ambil bagian mendorong desiminasi narasi Pancasila.