Politik Check and Balance Publik

Pelajaran yang berharga bisa kita ambil dari pemilu yang baru lewat, yakni soal peraturan (undang-undang) yang tidak mewajibkan cuti bagi petahana calon presiden. Sementara pihak tidak menyadari bahwa hal tersebut merupakan produk hukum yang dihasilkan bersama oleh dua lembaga yakni eksekutif dan legislative dan semua partai politik yang punya perwakilan di DPR terlibat dalam pembahasannya. Artinya mereka semua mengetahui dan berperan terkait dengan undang-undang pemilu tersebut.
Pun demikian publik, seharusnya sudah mengetahui hal itu sejak pembahasan hingga pengesahan undang-undang tersebut. Sehingga ketika ada hal-hal yang tidak disetujui, sejak awal bisa dikoreksi melalui pembahasan rancangannya. Kalaupun lolos disahkan, maka bisa dilakukan “Judicial Review” melalui Mahkamah Konstitusi. Hal ini hanya memungkinkan terjadi jika ada kesadaran politik yang baik pada partai politik dan publik secara luas. Bukan baru bereaksi pada saat kebijakan itu dilaksanakan dan dirasakan ada dampak negatifnya.
Kembali kepada soal kekuasaan, bahwa kesuksesan meraih kursi kekuasaan tidak serta-merta menghasilkan kesuksesan mengelola kekuasaan. Olehnya itu, fokus publik setelah kontekstasi perebutan kursi kekuasaan usai adalah mengontrol pengelolaan dan penyelenggaraan kekuasaan. Apakah kekuasaan berjalan sesuai “rule of law” atau ia menyimpang. Alat ukurnya sangat jelas, yakni konstitusi dan perundang-undangan.
Presiden misalnya, selain pemimpin penyelenggara pemerintahan dalam hal melaksanakan peraturan yang telah ada, juga memiliki kewenangan membuat/mengeluarkan kebijakan-kebijakan tertentu. Dalam konteks kewenangannya dalam membuat kebijakan, kontrol publik (secara perseorangan dan kelembagaan) mutlak diperlukan agar kebijakannya tidak melenceng atau bertentangan dengan konstitusi. Sebagaimana perlunya kontrol publik pada wakil-wakil rakyat yang duduk di lembaga legislatif dalam menjalankan fungsinya yang telah diamanahkan konstitusi.