SEPASANG PENGUNGSI DAN ELMAUT

  • Bagikan

(Sajak Aslan Abidin)

—dari hiroshima, bosnia, kabul, bagdad...

di kafe tua sunyi itu, kami kembali terjebak pertemuan. aku dan dia yang kini kumal memanggul beban rindu, serta elmaut yang mengintai tapi tak kunjung merenggut.

pelayan menyajikan musik kenangan dari gramofon, bagai mengurai keharuan, penuh derai gamang tertahan.

“di banyak negeri rusuh, di tiap hujan peluru, tidakkah kita juga selalu bertemu?”

petang telah lama pekat. di sudut halaman, lampu merkuri menyorot gerimis yang mengguyur sebuah patung serdadu yang terluka dan mengerang.

“masa lalu sepertinya tak pernah benar-benar beranjak pergi. gugusan hari yang kita sobek setiap pagi di almanak, mungkin tak pernah benar-benar terlepas.”

dari sudut ruangan, mengalun romeo et juliette dari tchaikovsky. dan di wajahnya yang keruh, aku bayangkan lukisan lansekap liu kuo-sung.

desing peluru dan dentum bom dari negeri jauh itu selalu memaksa kami jadi pengungsi.

“aku selalu ingin mengirim pulang tubuhku

untuk mengendap di tubuhmu agar kau lindungi dari sayatan kepedihan ini.”

“di medan pertempuran manapun, cinta selalu lebih kuat dari kematian,”begitu elmaut suka menghibur.

tapi ketika kami berhadapan lagi kini, di sebuah kafe dengan perjamuan yang kaku, kami sama enggan bersitatap, aku masih saja gemetar meneguk rindu.

elmaut kekasihku, masihkah kau tak sudi mendekap kami di kuburmu?

Makassar 1995-2004 —liu kuo-sung, pelukis kontemporer china, sebuah lukisannya berjudul lanscape (1985). (Sumber: Orkestra Pemakaman, Aslan Abidin, Penerbit KPG, 2018)

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan