Podium : Mengapa Kita Berbohong?

Pembahasan rinci tentang kebohongan dituangkan dalam buku karangan Stephen W. Littlejohn dan Karen A. Foos berjudul: Theories of Human Communication, edisi ke-9 (2009). Teori Kebohongan itu mengungkapkan bahwa proses komunikasi dan interaksi yang terjadi dan berlanjut antarpelaku komunikasi menggunakan proses maju-mundur (inkonsistensi). Pakar tentang percakapan, membahas pelaku komunikasi (baca: tersangka dan terperiksa) berbohong, karena: (1) Ingin mengatur informasi (manipulasi), (2) Mempunyai motivasi berbohong, (3) Kepentingan pribadi untuk menyembunyikan sesuatu, (4) Melindungi diri, keluarga dan kroninya, (5) Ketakutan kehilangan kekuasaan dan wibawa, (6) Menyembunyikan rahasia, (7) Hukuman sosial dan kehilangan nama baik, dan (8) sudah menjadi tabit (karakter) sebagai pembohong. Dari delapan parameter itu menunjukkan kenapa kita berbohong bahwa setiap percakapan perlu komitmen dan bahasa hati nurani dalam wujud kejujuran.
Jadi, ada tersangka atau terperiksa bersumpah dengan kitab suci di atas kepala, masih ada juga komunikator yang melakukan manipulasi informasi di depan sidang, semisal seseorang dalam menjalankan tampuk kekuasaan bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), namun fakta dilapang tidak demikian. Untuk membuktikan bahwa pemimpin tersebut tidak melakukan KKN, kita bisa membuka Peraturan Pemerintah No. 54 tahun 2017, pasal 30, menjelaskan; “Setiap orang dalam pengurusan BUMD dalam satu daerah, dilarang memiliki hubungan keluarga sampai derajat ketiga berdasarkan garis lurus ke atas, ke bawah, atau ke samping, termasuk hubungan yang ditimbulkan karena perkawinan”. Legal standing dan aturan hukum secara jelas dan tegas, pasal ini menjadi rujukan utama, apakah pemimpin ini melakukan tindakan melawan aturan. Walaupun, jika ada pemimpin mengatakan saya tidak melakukan KKN tetapi fakta dilapangan terjadi. Itulah kebohongan.