Revisi Undang-Undang KPK, Abraham Samad : Membuat Mati Suri

  • Bagikan
Melihat pertimbangan itu, tidak ada kepentingan hukum yang mendesak untuk merevisi Undang-Undang KPK selain kepentingan politik. “DPR perlu diingatkan bahwa ada banyak tunggakan Rancangan Undang-undang lain yang lebih penting untuk dibahas, ketimbang mengutak-atik Undang-Undang KPK dan akan berhadapan dengan masyarakat,” ujar dia. Sementara itu, pengamat hukum tata negara Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang Johanes Tuba Helan, mempertanyakan komitmen DPR dalam pemberantasan korupsi di Tanah Air. “Mengapa revisi UU KPK dilakukan secara diam-diam di akhir masa jabatan DPR. Kita pertanyakan komitmen DPR dalam mendukung pemberantasan korupsi, jika nyatanya mengobrak-abrik KPK,” katanya. Mantan Kepala Ombudsman Perwakilan NTB-NTT itu mengatakan, jika revisi UU KPK membuat lembaga itu menjadi lebih kuat dalam pemberantasan korupsi, maka harus didukung. Namun, jika tujuannya untuk memperlemah, maka harus ditolak. “Jika KPK setara dengan eksekutif yang artinya di bawah presiden, maka hancurlah KPK,” katanya. Dalam revisi yang diajukan untuk mengubah UU KPK, terdapat sejumlah poin di antaranya mulai statusnya yang akan berada di bawah lembaga eksekutif. Menilai revisi UU justru akan melemahkan KPK, maka Transparency International Indonesia (TII) mendesak Presiden Joko Widodo untuk menolak dengan tidak mengirimkan Surat Presiden (Surpres) ke DPR. “Transparency International Indonesia mendesak agar Presiden menolak pembahasan revisi UU KPK dengan tidak mengirimkan Surpres,” ucap Sekjen TII Dadang Trisasongko dalam keterangan tertulisnya.
Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan