Soal Revisi UU KPK, Seperti Kembali ke Orde Baru

  • Bagikan
[caption id="attachment_505066" align="aligncenter" width="3000"] Mahasiswa yang tergabung dalam berbagai kampus saat melakukan aksi di depan gedung DPR, Jakarta, Kamis (19/9/2019). Dalam aksinya mereka menolak UU KPK yang telah disahkan oleh DPR.FOTO:MIFTAHULHAYAT/JAWA POS[/caption] Intelektual Kecewa Lembaga antirasuah itu kemarin mengundang sejumlah media asing ke Gedung Merah Putih untuk berdialog soal revisi UU KPK. Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif menjelaskan, sebagai aparat penegak hukum, KPK hanya bisa menjalankan undang-undang. "Tetapi, apakah masyarakat menghendaki hal yang sama atau tidak?" ungkapnya. Ia pun menyebut, ada kemungkinan perubahan beberapa prosedur kerja setelah UU KPK direvisi. Terutama terkait dengan proses penyelidikan, penyidikan, dan penyadapan. Untuk itu, KPK membentuk tim transisi guna menyelaraskan pergantian kepemimpinan. Negara ini dinilai sedang berjalan mundur dalam membangun demokrasi. Selain UU KPK yang telah berhasil direvisi, UU Pemasyarakatan pun ikut dipreteli yang berujung pada makin mudahnya bebas bersyarat koruptor. Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi Unhas (Pankas), Muh Hasrul mengatakan, pegiat antikorupsi kecewa dengan rencana revisi UU Pemasyarakatan. Prinsipnya, korupsi itu kejahatan luar biasa atau extraordinary crime. Bila diberi kemudahan remisi, artinya korupsi sudah kategori kejahatan biasa. "Harusnya perlakuannya tidak biasa ini koruptor. Kalau ada remisi, pembebasan bersyarat, apa bedanya dengan kejahatan biasa," bebernya. Koruptor mestinya diberikan perlakuan khusus. Jangan ada remisi, jangan ada pembebasan bersyarat. Supaya orang bisa berpikir matang saat mau korupsi karena ancaman hukumannya tak main-main.
Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan