Sekolah pada mulanya merupakan waktu luang, di mana ketika itu sekolah adalah kegiatan di waktu luang bagi anak-anak di tengah-tengah kegiatan utama mereka, yaitu bermain dan menghabiskan waktu untuk menikmati masa anak-anak dan remaja. Kegiatan dalam waktu luang itu adalah mempelajari cara berhitung, cara membaca huruf dan mengenal tentang moral (budi pekerti) dan estetika (seni).
Untuk mendampingi dalam kegiatan tersebut, anak-anak didampingi oleh orang ahli dan mengerti tentang psikologi anak, sehingga memberikan kesempatan yang sebesar-besarnya kepada anak untuk menciptakan sendiri dunianya melalui berbagai pelajaran di atas.
Namun seiring perkembangan zaman, dunia pendidikan pun banyak mengalami perubahan disertai dukungan teknologi canggih. Fenomena seperti itu tidak dapat dihindari, sebab merupakan proses buah pikir manusia (anugerah Tuhan) dari apa yang ia ketahui, dapat terimplementasi secara global.
Terdistorsinya spirit tentang sekolah membuat sekolah banyak kehilangan esensi, tak lagi seperti dulu. Sekolah seakan momok yang menakutkan bagi para siswa/i. Kecerdasan seorang siswa/i kini hanya dinilai berdasarkan angka tertinggi berdasarkan tugas dan ujian dengan hitungan jam saja.
Parahnya lagi, banyak sekolah yang hanya menerima siswa/i yang mampu bersaing atau berkompetisi (mendapat prestasi). Mereka yang tidak mampu akan dianggap tidak layak untuk mengenyam pendidikan pada sekolah tersebut.
Mengacu dari esensi sekolah, bukankah sekolah adalah tempat untuk mendidik bagi mereka yang ingin belajar? namun hal tersebut malah membuat seseorang yang ingin sekolah termarjinalkan sehingga terbetuk kesenjangan kelas-kelas sosial. Hal seperti ini menjadikan banyak siswa mengalami depresi dan tekanan jiwa.