Tekanan Endo/Watanabe, terutama pada game pertama, sangat dirasakan Hendra. Dia beberapa kali membuat kesalahan. Termasuk servis error. Nah, game kedua lebih parah. Pada posisi lapangan yang tidak menguntungkan, mereka selalu tertinggal. Gap paling besar terjadi setelah interval. Endo/Watanabe melesat leading 16-10.
Pelatih Herry Iman Pierngadi sudah siap seandainya laga berlanjut ke game ketiga. Namun, Ahsan/Hendra optimistis game ketiga tidak diperlukan. Ketika mendapat kesempatan servis, mereka mampu mengejar.
Puncaknya adalah saat The Daddies menyalip pada posisi 19-18. Championship point sempat diganggu sekali. Namun, smes Ahsan yang tidak mampu dikembalikan Endo mengakhiri semuanya.
”Di game kedua itu, sebenarnya mereka (Endo/Watanabe, Red) lebih berani ngadu. Tidak terlalu banyak (bermain) buka,” jelas Ahsan. ”Setelah ketinggalan, ya kami pikir ini belum habis. Coba kami cari cara satu-satu. Alhamdulillah bisa. Keajaiban lah buat kita,” ujar pemain 32 tahun tersebut.
Kemenangan kemarin sekaligus menjadi revans yang sangat manis buat The Daddies. Tahun lalu, di ajang yang sama, mereka dihajar Endo/Watanabe 4-21, 18-21 di babak penyisihan grup. Mereka tidak lolos ke semifinal. Namun, itulah kekalahan pertama dan satu-satunya yang dialami The Daddies dari pasangan nomor enam dunia tersebut.
Secara umum, tahun ini memang tahunnya The Daddies. Mereka menemukan momentum di All England. Kekalahan ganda nomor satu dunia Marcus Fernaldi Gideon/Kevin Sanjaya Sukamuljo di babak pertama memacu mereka mengambil alih tanggung jawab untuk menjadi juara. Eh, ternyata keterusan. Setiap kali Marcus/Kevin kandas di fase awal turnamen, The Daddies selalu maju.