Hati-hati! Limbah Medis Corona Jadi Sumber Penularan

  • Bagikan

Ajeng juga melihat, Incinerator atau alat pembakar limbah yang dioperasikan menggunakan teknologi pembakaran dengan suhu tertentu ini masih terbatas jumlahnya.

Belum lagi incinerator milik Fasyankes tersebut tidak berfungsi optimal. Karena, untuk limbah medis ini, harus dibakar di suhu 800 derajat celcius.

“Ketika dia tidak berfungsi dengan baik suhu tidak mencapai tadi (800 derajat) bisa menimbulkan dioksin. Banyak fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) tidak memiliki incinerator, karena tidak ada lahan,” imbuhnya.

Selain tidak memiliki lahan, kata Ajeng, sikap penolakan dari warga juga membuat Fasyankes tidak memiliki alat pembakaran limbah sendiri. “Banyak masyarakat menolak karena takut dengan emisi yang bisa mengganggu masyarakat,” ujarnya.

Sementara itu, lanjut Ajeng, untuk Fasyankes yang menggunakan jasa pihak ketiga untuk mengatasi limbah medis juga mengalami kesulitan. Banyak yang izinnya sudah kedaluwarsa dan harus ekstra hati-hati, untuk mencegah kontaminasi saat pengiriman limbah ke pusat pembuangan akhir.

“Harus mengirim ke pihak ketiga padahal harus dalam waktu dua hari, dan jarak ke pihak ketiga jauh, ada kemungkinan nanti mengontaminasi sekeliling,” terangnya

Melihat kondisi tersebut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengajak Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melakukan riset mengatasi masalah limbah medis bahan berbahaya dan beracun (B3) serta infeksius, yang terus bertambah selama pandemi virus corona (covid-19).

“Saya tahu LIPI punya researcher yang handal dan kami butuh di pemerintah mengembangkan hal baru. Utamanya, terkait pengelolaan limbah yang tepat agar tidak menimbulkan masalah lain seperti emisi senyawa beracun,” kata Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3 KLHK, Rossa Vivien.

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan