Dia meminta agar pemerintah mengevaluasi cara kerjanya dalam penanganan COVID-19. Harus ada sinkronisasi menyeluruh atas semua kebijakan. Jangan sampai ada yang tumpang tindih dan menyulitkan pemerintahan daerah.
“Sederhanakan alur birokrasinya. Cari cara jitu alur pemutusan mata rantai COVID-19. Misalnya saat ini ada pool test algoritma yang dikembangkan oleh anak-anak muda kita. Kemudian Sesuaikan standar dengan keadaan kekinian. Atau saat ini ada BLT dari kemendes PDTT. Seharusnya kementerian terima data up to date dari RT/RW. Jangan pakai data sendiri dari atas dan jangan terkungkung dengan kriteria kemiskinan yang dipakai dalam keadaan normal,” paparnya.
Menurutnya, semua orang terdampak COVID-19. Sehingga banyak orang-orang turun kelas. Misalnya kelas pekerja terdampak PHK. Awalnya middle class lalu terjun bebas menjadi lower class. Jadi pembagian harus adil semua harus dapat.
Ia juga menyoroti beleid yang selalu berbenturan dengan prinsip otonomi daerah yang membuat pemerintah daerah terkungkung dengan instruksi tidak jelas dari pemerintah pusat. Padahal dengan diberi kewenangan dan kebebasan bertindak, maka pemda bisa segera mengatasi COVID-19.
“Sebenarnya penanganan pandemi ini tidak terlalu sulit. Asalkan arahan dan jalur koordinasinya bagus. Jangan sampai membuat bingung pemerintahan di daerah dengan beleid. Karena dampak paling besar dalam pemberlakuan PSBB yang kontroversial ini adalah warga di daerah yang di gawangi Pemda sampai jajaran turunannya di tingkat Desa dan RT/RW sebagai Garda Terdepan. Karena Segala wanprestasi Presiden dari pencitraanya pasti mereka yang menanggung,” tuturnya. (khf/fin/rh/fajar)