Dua minggu berjualan, langganannya sudah ada dua orang. Hingga puncaknya tiba. Langganannya sudah ada setiap hari. "Keuntungan saya lumayan. Dapat Rp2 juta per bulan. Saya sudah bisa biayai hidup sendiri. Saya senang bisa dapat uang sendiri," bebernya.
Usaha jualan tanaman hiasnya dikembangkan. Ia mulai memproduksi bibit tanaman hias sendiri. "Bibit inilah yang menguntungkan sekali. Sampai ide untuk membuat wisata taman bunga muncul pada 2018. Bahkan saat KKN di Malino, saya terus berusaha mencari lahan," ungkapnya lagi.
Tetapi di Malino, sangat sulit menemukan lahan. Warga di sana lebih banyak menanam sayuran. Makanya, ia memantapkan niatnya untuk mengubah lahan persawahan kecil milik orang tuanya menjadi taman bunga.
Dua jenis bibit bunga, didatangkan dari Jawa dan Sumatra. Bunga berwarna merah dan kuning namanya, selosia. Sementara yang berwarna ungu dan putih, namanya gomprena. "Bibit pertama itu banyak mati. Saya harus beli ulang," tuturnya, sambil melihat taman bunganya.
Berkali-kali gagal, tidak membuatnya patah semangat. Ia terus mencoba. Sampai bunganya tumbuh subur setelah tiga bulan kemudian. "Modal uang saya tidak ada sama sekali. Teman kuliah kumpulkan uang untuk modal investasi. Saat itu empat juta. Alhamdulillah berhasil. Modalnya sudah kembali sebulan saja," ujar anak ketujuh dari delapan bersaudara itu.
Ibu Naldi, Nia dan Ayahnya Massere kebetulan sedang di taman bunga kamarin. Ayah Naldi yang menerima uang setiap pengunjung. Begitulah setiap harinya. "Saya senang sekali, Nak. Bangga sekali," kata Nia, meneteskan air mata. (RUDIANSYAH/FAJAR)