Mardani Ali Sera: Pak Jokowi Justru yang Disebut Tidak Punya Sense of Crisis

  • Bagikan
Mardani Ali Sera. Foto; Ricardo/JPNN.com

Nah, video kemarahan Presiden Jokowi itu adalah refleksi bahwa posisinya semakin lemah secara politik. Itulah salah satu alasan dia harus menampakkan kekecewaan dan kemarahan di hadapan para menterinya.

Wijayanto menambahkan, kelemahan yang dimaksud bukan karena Jokowi kehilangan dukungan dari parpol pendukung. Melainkan, kelemahan itu dimaknai sebagai ketidakberdayaan presiden dalam mengendalikan para menteri di bawahnya. ’’Sehingga presiden harus marah-marah dulu agar bisa sejalan dengan garis komando,’’ ucapnya.

Di mengungkapkan, ketidakpatuhan para menteri Jokowi sebenarnya tampak selama pandemi Covid-19 merebak sejak awal Maret lalu. Dari temuan LP3ES, sebut Wijayanto, banyak pernyataan presiden yang justru dianulir bawahannya sendiri. Misalnya, saat Presiden Jokowi meminta mudik dilarang, menterinya mengatakan mudik diperbolehkan.

Ketika Jokowi menyampaikan istilah mudik dan pulang kampung adalah dua hal yang berbeda, menterinya mengatakan sama saja. Saat Jokowi mengatakan kredit kendaraan bisa ditunda saat Covid-19, jubirnya menyebutkan hanya berlaku untuk para penderita virus korona saja. ’’Ini beberapa anomali yang mengindikasikan menteri berjalan sendiri-sendiri,’’ paparnya.

Terlepas dari isu reshuffle yang digulirkan, kata Wijayanto, Presiden Jokowi seharusnya tak perlu menampakkan kemarahannya ke publik. Dalam perspektif budaya Jawa, ekspresi kemarahan itu merefleksikan bahwa dia kehilangan kendali atas para pembantunya.

Seorang presiden yang cukup kuat, lanjut Wijayanto, bisa tersenyum dan menyampaikan kepada menterinya bahwa dia dicopot karena kinerja tidak memenuhi ekspektasi. ’’Itulah yang semestinya dilakukan presiden yang yakin dengan kekuasaannya,’’ ujarnya. (jpc/fajar)

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan