Dijelaskan, tim akan diturunkan ke daerah mengecek: apakah Parpol punya kantor, punya papan nama, punya telepon/mesin faxmile dan sebagainya.
Aidir menyayangkan hal itu. Seharusnya pekerjaan seperti itu dilakukan oleh petugas meteran PLN dan PDAM. Ia menyayangkan kalau eselon-2 dan jajaran ke bawahnya melakukan kegiatan itu. Bagi Aidir, Parpol harusnya yang mengecek dirinya sendiri. Namun jajaran Aidir menyatakan lagi bahwa itu bunyi Undang-Undang parpol,
“Kemenkumham melakukan verifikasi substantif.” Bertahan dengan gagasannya tak perlu turun ke lapangan seperti tahun 2003 dan yakin verifikasi versi dirinya akan lebih baik, Aidir bertanya, harus bagaimana
bunyi undang-undang? Ia disarankan mengganti kata ‘substantif’ dengan kata ‘administrasi’. Bersamaan saat itu,revisi undang-undang Parpol sedang dibahas di DPR-RI. Aidir menyampaikan gagasannya ke Dirjen
AHU yang saat itu dijabat Dr Syamsuddin Mannan Sinaga.
Mendapat persetujuan, Aidir menemui Ketua Pansus RUU Parpol di DPR saat itu, Ganjar Pranowo (sekarang Gubernur Jateng). Perubahan pasal dilakukan. Verifikasi parpol versi Aidir dilaksanakan, hasilnya tidak ada protes satupun padahal lebih dari 50 parpol dinyatakan ‘tidak
lolos’. Duit yang digunakan hanya Rp 450 juta atau sekitar 1,5 persen dari dana verifikasi di tahun 2003.
“Waktu itu Menteri memberi pujian di depan semua pejabat Kementerian, apa yang dilakukan oleh jajaran Direktorat Tatanegara adalah contoh cara kerja yang cerdas dan efisien,” kenang Tehna Bahna Sitepu -- Direktur Tatanegara -- yang saat itu masih menjabat kasubdit.