“Tapi mengapa di dalam perkembangan pengolahan resource, bidang pertambangan tancap tinggi, sementara pertanian terhambat. Buktinya RUU Minerba tiba-tiba mulus sekali dan di dalam kemulusan itu kita termenung, ada pasal bahwa perusahan-perusahaan yang ada otomatis berlanjut” jelas Emil.
Emil menyarankan supaya pemerintah mempertimbangkan dengan baik-baik kebijakan sumber daya alam yang telah diambil. Apakah kebijakan itu berbuah kesejahteraan bagi rakyat atau justru berdampak buruk pada ketahanan pangan. Apalagi, menurut Emil, Indonesia akan menghadapi bonus demografi pada tahun 2040.
Hal ini tentu berkaitan langsung dengan persediaan pangan yang tercukupi secara nasional. Menurut Emil, paradigma kebijakan sumber daya alam harus adil dan berorientasi pada kesejahteraan banyak orang serta daya tahan ekosistem lingkungan hidup.
Emil berpesan tiga hal untuk pemerintah. Pertama, perbaikan dan peningkatan kualitas pendidikan serta prasarana umum seperti listrik, air dan jaringan telekomunikasi harus maksimal. Perbaikan pada sektor pendidikan akan bertautan langsung dengan pemerataan kesejahteraan.
Sedangkan perbaikan akses atas prasarana umum merupakan syarat mutlak pelayanan pada hajat hidup orang banyak.
Kedua, menurut Emil, pemerataan pembangunan harus selalu memperhatikan konteks budaya, adat, alam, dan keragaman wilayah di seluruh Indonesia. Penyeragaman agenda pemerataan pembangunan jangan sampai salah kaprah. Sebab paradigma dan potensi antar daerah berbeda-beda.
“Singkatnya Indonesia bisa maju karena kekayaan alamnya sangat subur. Pola pikir Bhineka Tunggal Ika. Jangan Jawasentris. Kembalikan penggunaan SDA sesuai dengan posisi ekosistemnya didukung SDM yang memungkinkan Indonesia mencapai kesejahteraan bangsanya. Jadi kata kunci memahami kekayaan Indonesia adalah keanekaragaman, diversity,” imbuh Emil menyitir tiga perbedaan wilayah Indonesia yang tidak bisa dipukul rata” ujar penerima penghargaan bergengsi internasional Blue Planet Prize dan The J. Paul Getty Award for Conservation Leadership itu.