Kemudian, lanjut Kholid, saat ini ada ketakutan masyarakat sipil untuk bersuara. Bahkan komedian yang mengetengahkan konteks lawakan dalam bingkai kritik diserang kebebasan berekspresinya.
“Pemerintah malah fokus membangun pasukan buzzer sebab tanpa buzzer mereka khawatir, kebijakannya tidak legitimate,” papar Kholid.
Kholid melihat, anak-anak muda tetap memiliki peluang untuk menjadi solusi di tengah demokrasi yang saat ini sedang putar balik tersebut.
“Kita bisa berperan di tiga sektor. Sektor publik yakni politik dan pemerintahan dimana PKS ada di dalamnya. Sektor swasta dan sektor ketiga. Ini anak muda bisa ambil bagian,” ujar dia.
Sepakat dengan hal tersebut, Pengamat Ekonomi INDEF Bhima Yudhistira menyampaikan anak muda dapat berperan sebagai penggerak ekonomi Indonesia meski kondisi Indonesia saat ini cukup amburadul.
“Infrastuktur kita jelek, bandwith speed kita jelek, konektivitas kita jelek, belanja APB kita jelek, tapi ada satu komponen yang saya masih percaya bisa menyelamatkan Indonesia, yaitu adalah business agility. Anak-anak muda ini di tengah keterbatasan, masih punya inovasi, masih punya kemauan untuk bekerja,” ungkap Bima.
Bima menekankan peluang ini tentu harus disikapi dengan sikap optimistis. Walaupun pemerintah kelihatannya masih nyaman dengan kebijakan-kebijakannya suram dan menyisakan ampas bagi generasi muda kedepannya.
“Tapi kitah harus tetap optimis melihat diri kita sendiri, melihat anak muda sendiri. Karena tanpa 1 rupiah pun sebenarnya anak-anak muda ketika diberi kesempatan itu, bisa menyerap tenaga kerja dan bisa menggerakan perekonomian,” pungkas Bima. (jpc/fajar)