FAJAR.CO.ID, GOWA - Namanya Ridwan M, 37 tahun. Sudah 13 tahun lamanya dia menjadi tenaga sukarela di salah satu rumah sakit di Kabupaten Gowa.
Hampir di setiap pekerjaan yang ia tempati mencari nafkah itu penuh dengan suka dan duka. Namun mungkin lebih banyak dukanya.
Selama 13 tahun itu, dia menjadi tenaga sukarela di rumah sakit tersebut dan bertugas di bagian rekam medik, dengan penghasilan yang tak pasti.
Apalagi di masa pandemi Covid-19 ini, tentu dirinya rentan terpapar virus tersebut meski memakai APD lengkap sekalipun. Menurut dia, penghasilan dan resiko dalam pekerjaannya tidaklah sebanding.
Selama bertugas di sana, Ridwan tetap ikhlas dalam tugas yang dia emban. Apalagi di momen hari Guru Nasional pada 25 November kemarin, dia rasa, nasibnya lebih parah daripada tenaga berstatus honorer.
Ridwan dituntut menjaga kualitas pelayanan dan keramahannya meski sebagai tenaga sukarela di rumah sakit tersebut. Meski pun dengan penghasilan yang pasti. Apalagi di masa pandemi ini.
"Tenaga sukarelanya hanya diberi honor dari dana pelayanan pasien BPJS yang pencariannya tidak menentu," terang dia, Jumat (27/11/2020).
Dalam setiap tugasnya, warga yang berdomisili di Jalan Sirajuddin Rani, Somba Opu, Kabupaten Gowa, mengaku harus mencari sumber penghasilan lain untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
Pria berusia 37 tahun ini menceritakan, jumlah dan waktu pencairan honor yang dia terima kadang tak pasti kapan. Apalagi selama masa pandemi, masyarakat enggan ke rumah sakit.
Tentu alasannya sudah tak asing lagi di telinga dokter. Mereka takut ketika hendak berobat, justru dinyatakan positif oleh pihak rumah sakit.
Ketakutan itu semakin menjadi-jadi dan berlangsung hingga hari ini. Saat pasien Covid-19 meninggal, jenazahnya dimakamkan tanpa kehadiran sanak keluarga di pemakaman khusus.
Dari perspektif masyarakat itu, penghasilannya dalam mengumpulkan pundi-pundi rupiah tentu akan sangat berkurang. Apalagi dia harus menanggung seorang istri dan empat anak.
"Selama Covid, jumlah kunjungan pasien menurun. Kadang Rp600 dan Rp500 ribu perbulan. Sebelum Covid Rp800 sampai Rp1 juta. Itu pun pencariannya tidak jelas waktunya," terang dia.
Namun tak apa. Meski cucuran keringat yang jatuh tak sebanding dengan penghasilan yang ia terima, baginya, bekerja di rumah sakit itu adalah sebuah pekerjaan mulia.
Satu nyawa yang diselamatkan, akan berbuah manis di akhirat kelak. Yang paling berharga, anaknya bisa makan untuk menyambung hidup dan membantu perekonomian keluarga di saat usia Ridwan yang mulai senja nanti. (Ishak/fajar)