Kenangan terakhirku, istriku masih menemani mendirikan pesantren Nahdlatul Ulum Maros, beliau yang dampingi saya mencari lokasinya. Karena kami berdua kelahiran Maros. Maka memilih Maros menjadi pilihan tepat sekaligus lokasinya lebih terjangkau. Begitu bersemangat, menjelang wafatnya masih menyempatkan diri membeli peralatan asrama pesantren.
Baik ibuku maupun istriku keduanya perempuan yang memiliki telaga cinta tak bertepi. Ibuku sosok penyayang dan penyabar, tidak pernah kulihat keningnya berkerut seberat apapun masalahnya. Demikian juga istriku, selalu memberi solusi berbagai masalah baik dalan keluarga maupun kegiatan luar. Beliau guru dan aktif di beberapa organisasi keagamaan. Tetapi paling diutamakannya adalah pendidikan anak-anak.
Kini, kedua orang yang sangat kami cintai telah wafat. Saya sering ceramahkan bahwa orang yang mati itu seakan berkata, tugasku telah selesai. Selebihnya menjadi tugasku adalah mendidik anak dan cucuku serta pengabdian pada umat. Meski begitu, kehilangan ibu dan istri menyisakan duka sekaligus keikhlasan.
Orang yang mati disebut wafat yang artinya sempurna. Setiap orang yang wafat itu telah menyempurnakan hidupnya. Hanya doa dari anak yang saleh dan keluarga yang mereka nantikan di alam kubur. Jadikan kematian sebagai nasihat. (*)