Hanya 29 Media Siber Terverifikasi di Sulsel, Pengamat: Pemda Harus Selektif Alokasikan Anggaran

  • Bagikan

"Pemerintah ini posisinya jelas menjalankan pemerintahan, media tugasnya adalah memberitakan peristiwa-peristiwa untuk mendapatkan hak publik untuk memenuhi kebutuhan informasi yang benar," ujarnya.

"Sehingga posisi media itu bisa mengapresiasi jika sifatnya baik, bisa juga mengkritisi jika isunya itu menjadi kontrol terhadap kinerja pemerintahan," lanjutnya.

Senada dengan itu, Pengamat Pemerintahan Universitas Bosowa, Arief Wicaksono menyebut kecenderungan tersebut membuat informasi yang masuk ke masyarakat menjadi bias, sehingga susah membedakan berita yang benar dan berita yang dibuat seolah-olah benar.

"Kecenderungan itulah sebenarnya yang menjadi salah satu pangkal, mengapa hoax menjadi industri di negeri ini. Di era yang serba real time, instant, dan kabur ini, kebenaran tertentu menjadi lebih mudah diproduksi dan direproduksi secara masif, sehingga publik tidak tahu lagi mana yang benar-benar benar, atau mana yang seolah-olah benar," ucapnya.

Ia menambahkan pada kasus ini, pemerintah dengan segala sumber dayanya, justru mencari solusi yang cepat, tapi belum tentu murah dan yang paling penting, belum tentu benar dan bermanfaat buat masyarakat.

"Justru karena tindakan pemerintah yang membiayai buzzer miliaran itu, pemerintah jadi terlihat tidak punya legitimasi dari rakyatnya. Dan itu ironi, jika bukan tragedi," pungkasnya.

Contoh kasus di Sulawesi Selatan, hanya terdapat 14 media yang terverifikasi administrasi dan faktual dewan pers. Dan hanya 53 media yang terverifikasi administrasi dewan pers. Sementara media siber hanya 29 yang terverifikasi.

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan