FAJAR.CO.ID, BONE -- Usaha kelor begitu menggeliat. Pasarannya ada. Sangat menjanjikan. Urusan harga terjamin. Tak ada fluktuasi. Namun konsepnya tak di percaya di kampung halamannya sendiri. Tetapi ada sembilan daerah yang sudah memanggilnya untuk mengembangkan konsepnya.
CEO PT Plaza Desa Indonesia, Fadli menceritakan suatu ketika saat menawarkan konsep ke Bupati Bone Andi Fahsar Mahdin Padjalangi yang menurutnya sudah cukup matang, walaupun belum sempurna.
Yakni, konsep Industri Kelor berbasis Home Industri. Setiap warga yang punya lahan 1000 meter persegi atau setara dengan 10 Are difasilitasi dengan mesin pengering daun kelor yang nilai investasinya sebesar Rp25 juta.
Empat bulan setelah penanaman, panen pertama dan seterusnya sampai 60 tahun bahkan bisa lebih, setiap bulannya masyarakat bisa berpenghasilan Rp3.750.000 per bulan atau paling buruknya Rp2 juta per bulan. Itu untuk 10 Are dengan 1 mesin pengering dan tenaga kerjanya adalah satu keluarga seisi rumah.
"Jadi pendapatan itu adalah pendapatan 1 keluarga yang waktu kerja per harinya adalah 4 jam. Dan saya tidak suka main-main kalau soal ide besar. Akhirnya saya pertemukanlah Bupati Bone dengan buyernya (Pembeli) lewat zoom. Alhamdulillah Bupati Bone sangat merespons positif," kisahnya.
Setelah itu didatangkanlah buyernya di Bone dan ketemu dengan camat-camat dan OPD terkait di Hotel Helios. Sebagai bukti dukungan Bupati Bone dan Pak Sekda waktu itu. Dihimbaulah ke camat-camat untuk hadir. Dan didaftar hadir di atas 95 persen peserta undangan hadir.
Tetapi di tengah sosialisasi itu. Terjadilah petaka yang tidak perlu terjadi. Salah seorang kadis bertanya ke buyer, dan entah apa motivasinya, oknum kadis itu mencurigai buyer yang di bawa untuk menipu masyarakat Bone. Begitulah buyer itu menangkap pertanyaan oknum kadis itu.
"Mas Fadli hentikan kerjasama ini dengan pemerintah. Kita jalan di luar jalur itu," ujar Kang Dudi (Ai Dudi Kusnadi Owner PT MOI) yang ditirukan oleh Fadli.
Fadli merasa sedih. Baginya yang hanya anak petani kampung, tidak gampang membangun jejaring pasar ekspor apalagi kelor. Dan begitu dibawa dikampungnya sendiri bukannya dihargai tapi dicurigai dan dibuat tersinggung.
"Padahal Bapak Bupati Bone sangat merespons kegiatanku itu. Bahkan memberikan langsung rekomendasi. Tetapi bawahannya yang tidak bisa menerjemahkan maksud dan tujuannya. Bahkan nyaris menghilangkan pembeli," curhat Fadli.
Makanya, itu salah satu alasan ayah lima anak itu tetap kuat dan bermental baja di kelor. Padahal waktu itu sudah mau MoU untuk 40 Ton Tepung Kelor per minggu dari Bone. Dan itu baru permintaan 1 perusahaan di Jepang.
"Tapi yaa sudahlah. Saya kembalikan semua pada ketetapan Allah. Paling tidak saya sudah pernah memulai bagaimana masyarakat Bone berpenghasilan rata-rata di atas Rp11 juta perbulan untuk luas lahan 30 are," sebutnya.
Suami Wira Nifira Inriani merinci harga 1 kg dibelikan Rp50 ribu, jadi 50 ribu di kali Rp75 ribu, hasilnya Rp3.750.000. itu omsetnya. Mesin itu pakai listrik dikeluarkan Rp250 ribu untuk biayanya. Jadi bersihnya Rp3,5 juta per bulan untuk lahan 10 are.
"Kalau konsepnya 10 ribu petani, pasti petani akan sejahtera. Dan itu pasarnya ada, tidak perlu bingung mau dijual kemana. Karena semua petani kita kontrak jaminan pembelian. Dan tidak ada fluktuasi harga. Rata Rp50 ribu," ungkap Fadli.
Sejauh ini memang sudah ada beberapa daerah yang meminta untuk dikembangkan di daerahnya masing-masing seperti Soppeng, Bulukumba, Bantaeng, Jeneponto, Barru, Maros, Sinjai, Wajo, dan Mamuju.
"Untuk saat ini baru Bulukumba yang saya respons ndi. Dan saya fasilitasi modalnya lewat KUR di Bank. Insyaallah sekitar 50an petani cair dananya bulan depan," ucapnya.
Fadli memaparkan, di Sulsel punya konsep 10 ribu petani kelor, kontraknya langsung ke person. Dan itu semua nanti akan difasilitasi kerjasama dengan Bank untuk menyediakan KUR kepada para petani.
Kalau bicara omset tutur suami Wira Nifira Inriani sederhananya ini bukan omset perusahaan, malah omset petani. Basisnya ini kan home industri, tenaga kerjanya adalah satu keluarga, kapasitas mesin itu per hari 15 kg daun basah, dan itu butuh 30 pohon kelor. Karena teorinya dua pohon kelor satu kg daun basah.
Rendemen atau penyusutan dari basah ke kering 20 persen. Jadi dari 15 kg itu setelah 24 jam di mesin pengering menjadi 3 kg. Mesin itu bekerja 25 kali dalam sebulan, jadi hitungan omsetnya 3 kg x 25 kali = 75 kg daun kering.
Direktur Bumdesma Wanua Tonra, Salamun Sabindo menambahkan, era pandemi covid-19, rutinitas warga khusus di pedesaan seakan juga mempengaruhi bagaimana pemenuhan ekonomi keluarga. Namun berbeda dengan sebagian kecil masyarakat di Desa Bulu-bulu yang saat ini sedang membudidaya pohon kelor.
Kata dia, salah seorang petani di Tonra, Sudding dengan lima anggota keluarganya tengah melorot daun kelor hasil kebunnya, untuk kemudian dikeringkan melalui sistem Lock methoding, dan akan menghasilkan daun kelor kering sebagai bahan baku produk nantinya.
Keluarga itu sangat senang, sebab ternyata ada kegiatan yang menghasilkan rupiah bagi keluarga dengan membudidaya kelor. Budidayanya juga tidak butuh waktu dan tenaga yang banyak.
"Panen setiap hari dan hanya butuh 4 jam kerja dalam satu hari dengan melibatkan keluarga saya, karena hasil panen saya langsung di beli dan dihargai oleh pihak Bumdesma," katanya. (agung/fajar)