Safari Harmoko

  • Bagikan

Pak Harmoko tidak langsung memberikan restu. Tapi juga tidak langsung memberi isyarat menolak. Sebagai sesama Jawa saya harus tahu membawa diri: saya beralih ke pembicaraan lain.

Seminggu setelah lapor itu, saya dipanggil Pak Harmoko. “Bagus,” kata beliau. “Nanti yang jadi pemimpin umumnya xxxx,” kata beliau, menyebut satu nama.

Ganti saya yang tidak langsung bereaksi. Sambil tetap tersenyum saya manggut-manggut. Saya tidak mengucapkan kata apa pun. Lalu mengalihkan pembicaraan ke soal lain.

Keluar dari ruang kerja beliau saya pusing. Orang yang ditunjuk menjadi pemimpin umum harian Merdeka yang baru nanti saya kenal. Politisi. Loyalis. Bukan pengusaha. Bukan wartawan.

Maka saya harus cari akal untuk menolak nama itu. Harus dengan cara yang benar –cara Jawa. Saya kan ingin koran itu maju. Kalau nama itu yang tampil menjadi pemimpin umumnya pasti sulit berkembang. Koran itu nanti akan terasa terlalu Golkar. Saya pun memutuskan untuk sementara tidak bertemu Pak Harmoko lagi. Biar beliau lupa dulu.

Lalu datanglah ide baik. Pak Harmoko itu kan nasionalis. Beliau pernah menjadi aktivis GSNI –Gerakan Siswa Nasionalis Indonesia. BM Diah itu juga nasionalis. Soekarnois. Harian Merdeka itu sangat nasionalis. Pak Harmoko pernah berkarir di harian Merdeka. Sebagai wartawan dan karikaturis.

Akhirnya saya bertemu Pak Harmoko. Saya bilang dengan nada yang amat sangat sopan. Dengan dua tangan ngapurancang. Dengan mata menatap ke lantai.

“Pak Harmoko, semua koran sekarang ini kan sudah Golkar. Bagaimana kalau tetap ada satu koran yang nasionalis. Satu saja. Biar kesannya tetap baik. Saya janji akan menjaganya. Kami kan tahu batas,” kata saya.

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan