Gejala seperti itu terjadi di seluruh dunia: di setiap musim panas kapasitas PLTA turun drastis.
Di setiap puncak kemarau panjang, PLTA seperti Jatiluhur, hanya mampu memproduksi listrik kurang 20 persen dari kapasitasnya.
Padahal di Tiongkok seluruh PLTA-nya bisa memproduksi listrik sampai 300.000 MW. Tapi di musim panas bisa jadi mereka itu hanya mampu memproduksi sekitar 100.000 MW.
Akibatnya, Tiongkok harus menggenjot PLTU batu bara. Tiongkok memang penghasil batu bara terbesar di dunia. Tapi kapasitasnya sudah telanjur diturunkan. Dengan alasan: memperbaiki lingkungan hidup.
Semua PLTU batu bara yang ukuran 300 MW ke bawah juga harus ditutup dan dibongkar. Tiongkok juga tidak mau lagi memberi pinjaman untuk pembangunan PLTU batu bara di luar negeri.
Sulitnya lagi, tambang batu bara di Tiongkok adanya di perut bumi: harus membangun terowongan bawah tanah. Sulit dan mahal. Berbeda dengan tambang batu bara di Indonesia: tinggal mengeruk di permukaan tanah.
Untuk menambah kapasitas produksi batu bara di Tiongkok pasti bisa: tapi perlu waktu lama. Maka lebih baik mengimpor saja batu bara dari negara seperti Indonesia. Jaraknya dekat. Mutunya baik. Batubara kita selalu dapat pujian: kadar sulfurnya rendah, kandungan debunya juga rendah.
Setelah disedot Tiongkok dengan pipet raksasa, harga batu bara di Indonesia melonjak luar biasa. Pembangkit listrik di dalam negeri sampai mengalami kesulitan. Kecuali pembangkit listrik milik PLN. Yang mendapat jatah domestic obligation.
PLN mendapat fasilitas alokasi batu bara secara khusus. Jumlahnya sudah ditentukan. Harganya sudah dipatok. Semua tambang batu bara wajib mengalokasikan produksi mereka untuk domestic obligation itu.