Ketika waktu untuk kolaborasi meningkat, kesejahteraan turun. Pegawai yang paling banyak menghabiskan waktu untuk berkolaborasi, menghadiri rapat, menulis email, dan mengirim chat menilai kepuasan dan keseimbangan kehidupan yang lebih rendah daripada rekan kerja dengan waktu kolaborasi yang lebih sedikit. Kelompok pegawai yang puas tercatat menghadiri rapat 25 persen lebih sedikit dan menghabiskan rata-rata 6 jam lebih sedikit per minggu untuk berkolaborasi.
Di sisi lain, pegawai yang mampu menyusun prioritas dengan menetapkan fokus kerja memiliki kepuasan terhadap aspek work life balance. Orang yang mengambil jeda, melakukan liburan sejenak memiliki dampak nyata pada persepsi pegawai tentang keseimbangan kehidupan kerja. Pegawai yang dapat mengambil cuti untuk “recharge” memiliki rata-rata persepsi keseimbangan kehidupan kerja 8 poin persen lebih tinggi di daripada mereka yang tidak mengambil cuti.
Untuk meningkatkan kesejahteraan, perusahaan menemukan tiga akar masalahnya, yaitu kolaborasi yang selalu aktif, kurangnya waktu fokus, serta liburan dan waktu luang yang tidak terpakai.
Microsoft mulai memperbaikinya dengan beberapa cara seperti memprioritaskan pekerjaan, menetapkan batasan, dan mengevaluasi kembali rapat. Apa yang dilakukan Microsoft dapat diterapkan oleh perusahaan lain yang menghadapi tantangan tenaga kerja serupa, termasuk organisasi di sektor publik.
Pada dasarnya, Kementerian Keuangan menyadari konsep work life balance dan telah merespons dengan sebuah kebijakan yang mengakomodir kepentingan pegawai dalam menyeimbangkan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Kebijakan yang diterbitkan pada tahun 2017 dimaksud berupa Instruksi Gerakan Efisiensi sebagai Bagian Implementasi. ***