Bukti lain yang menguatkan adalah pasca Perjanjian Roem-Royen pada 7 Mei 1949. Salah satu isi tersebut adalah Belanda menyetujui kembalinya pemerintah RI ke Jogjakarta. Tindaklanjutnya pada 14 juni 1949, Sjafroeddin mengirim surat berupa mandat kepada HB IX sebagai Menteri Pertahanan.
Penunjukan ini atas dasar peran penting sosok HB IX sebagai Menteri Pertahanan. Khususnya untuk mencegah agar TNI tak bentrok dengan tentara Belanda. Perannya mengawal pemulangan tentara Belanda sepenuhnya dari Jogjakarta.
“Sultan (HB IX) berperan penting sebagai Menteri Pertahanan pada 29 Juni 1949 yang kemudian itu dikenal sebagai Jogja Kembali. Sjafroeddin sendiri memang mengakui bahwa Sri Sultan Hamengku Buwono IX menjabat sebagai Menhan,” tegasnya.
Sri Margana menambahkan sosok Sri Sultan Hamengku Buwono IX memiliki fungsi politik dan militer cukup kuat. Inilah yang menjadi landasan komando militer dengan Jenderal Soedirman. Selain itu juga berpangkat Letnan Jenderal Titurel yang diakui pula oleh Pemerintah Belanda.
Berkat pangkat ini sosok HB IX disegani oleh Belanda. Terbukti Pemerintah maupun tentara Belanda tidak berani melawan eksistensi sosok Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat saat itu. Bahkan tak ada penahanan meski berstatus menteri Kabinet Soekarno-Hatta.
“Tidak ikut ditahan oleh Belanda, sehingga beliau bisa memiliki sedikit banyak ruang untuk bergerak. Seperti menghubungkan Jenderal Soedirman dan para tokoh yang diasingkan di Bangka. Beliau bahkan mengunjungi Soekarno dan Hatta di Menumbing,” ujarnya. (dwi/radarjogja/jpc)