Bahkan, lanjut Tasrief, saat pengangkatan di Perguruan Tinggi, menteri diangkat oleh rektor, sesuatu yang lagi-lagi aneh, sebab seorang yang sudah sangat terhormat (pembantu presiden), diangkat oleh seseorang yang notabene bawahan dari seorang Dirjen/Menteri. Dengan perkataan lain, ia diangkat atau diberi tugas oleh bawahannya.
"Disinilah perlunya meluruskan salah kaprah, bahwa Professor itu, termasuk Professor kehormatan, bukan gelar, melainkan jabatan," tegasnya.
Pengangkatan seseorang menduduki jabatan, berkonsekuensi bahwa yang bersangkutan akan melaksanakan tugas, sesuai tupoksinya.
Dalam hal diangkat sebagai professor kehormatan (PK), yang bersangkutan wajib melaksanakan tugas tridarma, yaitu pengajaran, penelitian dan pengabdian pada masyarakat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 12.
Dikatakan, pemenuhan kewajiban melaksanakan tridarma oleh Professor kehormatan, dievaluasi secara teratur dan jika tidak memiliki kinerja dan kontribusi, maka yang bersangkutan diberhentikan.
Pasal ini menekankan bahwa jabatan sebagai professor kehormatan adalah pekerjaan full time, bukan sambilan.
"Sebab itu, tidak masuk akal, alias melanggar logika bernegara jika seorang menteri bersedia menerima jabatan sebagai PK," imbuhnya.
Prof Tasrief kemudian menyarankan kepada presiden perlu mengingatkan para menterinya agar sungguh-sungguh mengurus kementeriannya, jangan nyambi di tempat lain.
Pada saat yang sama, pimpinan perguruan tinggi harus cermat, jangan melakukan blunder, mengangkat pembantu presiden sebagai professor kehormatan, sebab itu merupakan pelanggaran subtantif terhadap peraturan yang mendasarinya.