Dari perspektif sosiologis, perilaku Danny yang melulu memilih pendekatan diametral sangat berbahaya karena akan menimbulkan kegaduhan berkepanjangan dan ketidakstabilan dalam pemerintahan.
"Di era yang penuh ketidakpastian karena pandemi Covid-19, sepatutnya leadership seorang pemimpin mengedepankan semangat kolaboratif-kemitraan dengan berbagai stakeholder, bukan menyemai permusuhan di semua level,"jelas Sawedi.
Menurut Sawedi, Danny Pomanto terlalu percaya akan kemampuan kognitifnya yang seakan menguasai segala hal. Bahkan terkesan Danny lebih memahami isu-isu yang dia sendiri sebenarnya awam dari pakar yang memang ahli di bidangnya.
"Celakanya, Danny ngotot kalau ia sangat menguasai seluruh persoalan di Makassar, padahal publik banyak menilai bahwa Danny adalah bahagian dari persoalan besar yang dihadapi kota ini,"bebernya.
Sawedi mengungkapkan, perilaku yang ditunjukkan Danny berkaitan dengan teori keterbatasan rasional. Apa itu?
Pertama, sistem kognitif bekerja dengan bahan-bahan yang serba terbatas dan seorang Danny Pomanto bukanlah pribadi yang sempurna. Rasionalitasnya dalam mengambil keputusan apapun sangat terbatas akibat rumitnya persoalan, keterbatasan kemampuan berpikir dan waktu yang sangat terbatas. Karena menganggap dirinya powerful, maka setiap keputusan yang diambilnya tidak lagi dipertimbangkan secara matang.
Kedua, keputusan yang diambil akan selalu beririsan dengan emosi, subjektifitas, hysteria dan faktor psikologis lainnya. Karena tipikalnya yang dominan, hampir seluruh keputusannya tidak melalui proses diskusi dan konsultasi dengan berbagai pihak tetapi diputuskan secara egoistis.