Dalam hal ini, dia mengibaratkan presiden sebagai seorang sopir, sedangkan Indonesia merupakan bus yang akan dibawa. Menurut dia, yang terjadi saat ini membicarakan siapa sopirnya, tetapi tidak pernah dibicarakan bus yang akan dikemudikannya itu mau dibawa ke mana.
"Jadi, saya tidak terlalu tertarik bicara sopir. Saya lebih tertarik bus Indonesia ini mau dibawa tujuannya ke mana," ucapnya menegaskan.
Budiman mengaku tidak menganggap serius jika saat sekarang orang-orang meneriakkan "ini jadi sopirnya" atau "itu jadi sopirnya".
Dia menyayangkan dalam waktu dua tahun yang masih tersisa ini, sudah meneriakkan siapa yang akan menjadi presiden ke depan. "Padahal, kita belum menentukan bus itu mau ke mana, perjalanan dua jam lagi, kita belum menentukan mau pergi ke mana, kita sudah ributkan sopirnya," imbuh Budiman.
Menurut dia, persoalan ke depan itu jalannya terjal, kanan-kiri jurang, gelap, berkabut, dan naik-turun. "Itu yang saya tahu, yang saya pelajari. Kenapa tidak kita pikirkan dalam menghadapi medan yang terjal seperti itu, butuh sopir yang seperti apa, bukan 'waton' sopir, bukan asal sopir," ucapnya.
Oleh karena itu, kata dia, dalam waktu dua tahun yang masih tersisa, sekitar 1,5 tahun di antaranya digunakan untuk membicarakan sosok pemimpin seperti apa yang dibutuhkan untuk memimpin Indonesia ke depan, dan setengah tahun kemudian barulah membicarakan siapa yang akan dicalonkan sebagai presiden.
Menurut dia, dalam demokrasi membutuhkan aspek kuantitatif bagi seorang presiden, tetapi Indonesia membutuhkan aspek kualitatif bagi seorang pemimpin. "Kalau presiden cukuplah sekadar electoral dan kuantitatif, bahkan cuantitatif juga. Namun, kalau kepemimpinan, kita butuh aspek kualitatif," katanya.