FAJAR.CO.ID - Praktisi Hukum Adyatma Abdullah menyoroti KontraS yang baru-baru ini muncul dengan menyatakan diduga terdapat 27 kasus rekayasa yang dilakukan di Polri. Kata dia, hal ini perlu menjadi perhatian serius bagi instansi terkait.
"Dalam hal ini Polri yang disebut namanya perlu mengklarifikasi dan malakukan eksaminasi atas beberapa kasus yang di sebutkan oleh KontraS tersebut, apakah hal yang diutarakan Kontras benar atau tidak," terang Adyatma kepada fajar.co.id (11/9/2022).
Pengacara yang juga konsultan Hukum itu, menganggap kalau dugaan tersebut benar maka Polri perlu segera mengambil langkah hukum dan tindakan pemeriksaan terhadap pihak-pihak yang terkait atas kasus-kasus tersebut, dan sebaliknya kalau tidak benar bisa menepis dugaan yang sudah berkembang di masyarakat.
"Apalagi hal demikian muncul dengan mengaitkan kasus viral kematian brigadir J. sehingga institusi Polri yang sedang dalam sorotan oleh masyarakat mesti segera memberikan klarifikasi sehingga dapat mencegah makin menurunnya tingkat kepercayaan publik terhadap intitusi Polri itu sendiri," lanjutnya.
Lulusan UII Yogyakarta itu melihat, selain Polri, Lembaga seperti KOMNAS HAM juga mesti bersikap, memantau dan bahkan bisa melakukan koordinasi dengan pihak-pihak terkait untuk memastikan kebenaran berita tersebut. Karena pemenuhan atas jaminan perlindungan, kepastian hukum yang adil, perlakuan yang sama di depan hukum, hak untuk tidak disiksa, hak untuk diperlakukan adil dalam penerapan dan penegakan hukum merupakan Hak Asasi Manusia yang di atur dalam pasal 28 UUD 1945.
Sehingga KOMNAS HAM sebagai lembaga yang diberi kewenangan untuk melakukan pengawasan dan pemeriksaan atas pelanggaran HAM, tidak hanya berhenti pada pengawasan atas kematian Brigadir J, namun juga bisa melakukan pemantauan atas kemungkinan terjadi kriminalisasi pada kasus-kasus lainnya.
"Sebagai contoh nyata, dalam beberapa kasus yang sebelumnya kami tangani, dua orang kurang mampu atas nama Reza dan Rikardi warga gowa yang dituduh sebagai pelaku jambret, yang dalam penanganan perkaranya tidak sesuai dengan hukum acara maupun aturan hukum yang berlaku," lanjut Adyatma.
Tambahnya, kedua warga tersebut ditangkap kemudian disiksa, dipaksa mengaku dan diambil keterangan dalam pemeriksaan. kemudian diadili sampai persidangan, namun nyatanya bebas di pengadilan Tinggi dan dikuatkan oleh Mahkamah Agung. Padahal dari peristiwa tersebut tersangka sudah menjalani kurang lebih delapan bulan kurungan. Sehingga hal tersebut hanya sebahagian contoh peristiwa salah tangkap yang pernah terjadi dan kemungkinan masih banyak lagi yg belum terungkap.
"Sehingga berdasarkan pengalaman-pengalaman tersebut, serta viralnya kematian brigadir J, harusnya dijadikan momentum untuk melakukan penguatan pada Polri, baik perbaikan SDM agar lebih profesional dalam menjalankan tugas, maupun penguatan sistem pengawasan baik pengawasan eksternal yang dilakukan oleh Kompolnas, KOMNAS HAM, DPR, Ombudsman, dan masyrakat, serta pengawasan internal polri itu sendiri. karena sebenarnya kami yakin masih banyak orang-orang baik dalam Polri yang bisa mengambil peran untuk membuat lembaga tersebut makin maju dan lebih baik kedepannya," pungkasnya.
(Muhsin/fajar)