Aturan itu, kata Tasrif menjadi sebagai acuan legal-formal pertama untuk mengelola kekayaan budaya di Indonesia. Termasuk budaya Bissu yang merupakan warisan dari zaman kerajaan di Sulsel.
"Pemerintah harusnya melindungi mereka, memberikan ruang berekspresi kelompok manapun. Bissu itu produk budaya kita, harusnya dilihat dari sisi Pancasila bukan agama tertentu," ungkap Tasrif saat ditemui di Kampus Unhas.
Dia berharap, pemerintah tak mengabaikan masa lalu demi kepentingan kelompok mayoritas. Terutama Pemda harus memberi ruang dan menjamin bissu untuk tetap bisa melestarikan warisan budaya mereka.
Kepada bissu, Tasrif memberi saran untuk tetap menonjolkan warisan budaya yang mereka bawa. Terlebih mereka adalah agen pelestari budaya yang keberadaannya penting.
"Untuk bertahan bissu tetap harus konsisten, tampilkan ritual atau kegiatan yang sudah sejak dulu dilakukan. Ketika tampil di ruang publik bukan menonjolkan sisi kewaria-warian mereka," sarannya.
Soal pandangan khalayak umum terhadap bissu, alumni doktor ilmu antropologi Universtas Indonesia itu meminta masyarakat melihat keberadaaan mereka sebagai warisan budaya bukan transpuan atau waria.
Sebab, sejak awal keberadaan bissu setara dengan pemuka agama di masa lalu. Mereka adalah kelompok yang fokus menghubungkan masyarakat dan pihak kerajaan dengan sang dewata (tuhan).
"Salahnya di mana mengabaikan masa lalu, kita akan mendzalimi warisan budaya nenek moyang kita. Itu kearifan leluhur kita, jangan sampai suatu saat nanti malah kita bertanya ke mana budaya masa lalu kita," kata Tasrif.